Rabu 15 Jul 2020 18:13 WIB

Filipina Kerahkan Polisi Jemput Pasien Covid-19 ke Karantina

Penjemputan pasien Covid-19 di Filipina dikritik bisa melanggar hak warga

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Orang-orang Filipina memeriksa fasilitas interior unit pengujian seluler COVID-19, selama upacara peluncuran di Kota Quezon, Metro Manila, Filipina, 29 Juni 2020. Truk yang dikonversi akan dikerahkan di kota itu untuk memperkuat upaya pengujian komunitas di tengah coronavirus pandemi.
Foto: EPA-EFE/ROLEX DELA PENA
Orang-orang Filipina memeriksa fasilitas interior unit pengujian seluler COVID-19, selama upacara peluncuran di Kota Quezon, Metro Manila, Filipina, 29 Juni 2020. Truk yang dikonversi akan dikerahkan di kota itu untuk memperkuat upaya pengujian komunitas di tengah coronavirus pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Polisi Filipina dikerahkan untuk memastikan orang-orang yang dinyatakan positif virus corona dan tidak mampu mengisolasi mandiri, untuk dibawa ke pusat karantina yang dikelola negara, Rabu (15/7). Namun demikian, hal itu memicu peringatan tentang potensi pelanggaran hak warga.

Langkah itu dilakukan ketika pihak berwenang meningkatkan upaya untuk memperlambat penyebaran penyakit dengan meningkatkan pengujian. Pemerintah juga kembali melakukan lockdown atau karantina wilayah serta membangun puluhan pusat karantina untuk mengisolasi pasien dengan gejala ringan oleh sebab kenaikan kasus yang terjadi.

Baca Juga

Para pejabat mengatakan, untuk mengatasi penularan lokal, polisi mendampingi petugas kesehatan untuk ke rumah-rumah orang yang dites positif dan membawanya ke fasilitas pemerintah jika rumah mereka dianggap tidak memadai untuk isolasi diri atau jika mereka tinggal dengan orang yang rentan terhadap penyakit. 

"Kami lebih suka bahwa asimptomatik dan kasus-kasus ringan secara sukarela menyerah dan mengurung diri mereka di pusat-pusat isolasi," ujar Harry Roque, juru bicara Presiden Rodrigo Duterte seperti dikutip laman Bangkok Post, Rabu (15/7).

Dia membela karantina paksa adalah sesuatu yang legal. "Ini liburan berbayar di fasilitas ber-AC, bukan mereka akan dibawa ke penjara," ujarnya menambahkan.

Komentar Menteri Dalam Negeri Eduardo Ano telah memicu protes, Selasa (14/7) kemarin. Dia mengatakan polisi akan mencari orang yang terinfeksi dan mengancam hukuman penjara bagi siapa saja yang berusaha menyembunyikan gejala Covid-19.

Kelompok hak asasi setempat, Karapatan, menilai pencarian polisi dari rumah ke rumah telah menyebabkan ribuan pembunuhan mengerikan dalam perang obat bius palsu pemerintah.

"Pencarian ini hanya akan mengintimidasi pasien dan keluarga mereka dan apa yang akan dilakukan polisi ketika pasien menolak untuk ikut serta, menembak mati mereka?" kata kelompok tersebut. Polisi tampaknya menolak komentar Ano, mengatakan bahwa para petugas akan bertindak sebagai "upaya terakhir" untuk membawa orang-orang yang terinfeksi virus ke pusat-pusat karantina.

"Kami tidak akan, dengan sendirinya, mengetuk pintu-pintu rumah masing-masing," ujar Guillermo Eleazar, wakil kepala polisi untuk operasi. "Kami akan menemani satuan tugas lokal kota melawan Covid-19 yang dipimpin oleh petugas kesehatan," kata dia.

Menteri Pekerjaan Umum Filipina, Mark Villar mengatakan, pemerintah berencana membangun 50 fasilitas karantina untuk menangani meningkatnya jumlah kasus. Villar mengatakan bahwa dia telah dites positif terinfeksi virus.

Filipina telah memiliki lebih dari 8.300 pusat karantina dengan lebih dari 73 ribu tempat tidur. Tingkat pemanfaatan rata-rata adalah 32 persen.

Setelah memberlakukan salah satu lockdown terpanjang di dunia, Filipina melonggaran pembatasan dalam beberapa pekan terakhir. Namun hal itu memicu lonjakan infeksi baru. Hingga Selasa (14/7) waktu setempat, Filipina mencatat 57.545 kasus yang dikonfirmasi di seluruh negeri dan 1.603 kematian.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement