REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Muhammadiyah kerap disebut kering dari segi kebudayaan. Identitas Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi dianggap lebih menonjol dan disalah artikan. Padahal sejak awal Muhammadiyah merupakan gerakan kultural yang menyemai dakwah dengan penuh kearifan.
Ketua Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sukriyanto AR menyampaikan bahwa KH Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat perhatian terhadap kebudayaan. Hal ini disampaikannya dalam Webinar Kebudayaan Yayasan Umar Kayam dan Suara Muhammadiyah, Jumat (10/7).
Sepulang Haji yang kedua, KH Ahmad Dahlan mengajarkan Surat Al-Ashr hingga delapan bulan lamanya. Surat ini berkaitan dengan waktu yang terus maju, sehingga Kiai Dahlan berharap Muhammadiyah dapat menjadi organisasi yang berkemajuan.
“Kiai Dahlan ingin agar murid-muridnya bisa menggunakan waktu diisi dengan sebaik-baiknya,” ungkap Sukriyanto. Bangsa yang maju adalah mereka yang disiplin dan menghargai waktu. Itulah yang dibudayakan Kiai Dahlan.
Dimensi kebudayaan memang luas, misalnya dalam seni, Kiai Dahlan mengajarkan tentang lagu, menggambar, melukis dan sebagainya. “Maka sebenarnya Kiai Dahlan bisa disebut juga sebagai seniman,” tambah Sukriyanto.
Kiai Dahlan piawai dalam memainkan alat musik seperti biola, sebagaimana digambarkan dalam film Sang Pencerah. Begitu juga lambang atau logo Muhammadiyah yang merupakan idenya dan kemudian digambar oleh salah satu putranya. Setiap Kongres atau Muktamar selalu ada logo dan lagu.
Menurut Sukriyanto, Seni Budaya merupakan sarana dakwah Muhammadiyah. Melalui karya seni dapat mengajak orang untuk kebaikan dan spirit Islam sebagai rahmatan lil alamin. LSBO pun menyemai spirit itu dalam kemasan kekinian seperti pembuatan berbagai film tentang Muhammadiyah.
Yayasan Umar Kayam siap membantu Muhammadiyah dalam mengembangkan kebudayaan. Sebagaimana dulu Umar Kayam yang concern dalam kebudayaan. Terlebih dengan diungkapnya berberapa catatan Umar Kayam tentang Muhammadiyah yang diterangkan Kusen Alipah Hadi.
Direktur Yayasan Umar Kayam ini memandang Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan bukan dalam hal kulit luar melainkan pembaharuan jiwa. Menariknya Muhammadiyah tidak kaku sebagai gerakan dakwah meskipun tetap mengedepankan rasionalitas, disiplin, dan egaliter.
“Terdapat pekerjaan rumah bagi Muhammadiyah dari Umar Kayam yaitu bagaimana Muhammadiyah bisa merawat elastisitas sekaligus memikirkan ulang peran kesejarahannya,” tutur Redaksi Pelaksana Suara Muhammadiyah Isngadi Marwah Atmadja.
Sementara itu, Stafsus Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Machendra Setya Atmadja menekankan tentang pentingnya implementasi dakwah kultural. Perlu kolaborasi berbagai pihak di dalam maupun luar Muhammadiyah untuk memajukan kebudayaan ini.
“Secara gerakan Muhammadiyah cukup masif dan punya tradisi yang kuat, punya budaya yang kuat, bahkan untuk mempertahankan kebudayaan itu sendiri. Selanjutnya, produk budaya atau kesenian yang dihasilkan begitu melekat dan membangkitkan gairah warga Muhammadiyah,” urai Machendra.
Wacana tentang dakwah kultural maupun strateginya memang telah dibahas dalam beberapa permusyawaratan termasuk dalam Tanwir di Denpasar pada 2002. Akan tetapi sebagaimana disampaikan Sukriyanto AR, sejak awal Muhammadiyah adalah gerakan kultural, hasil dari musyawarah maupun produknya merupakan penegasan saja.
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/07/15/muhammadiyah-sebagai-gerakan-kultural/