REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah mengatakan internet menjadi tempat yang banyak digunakan oleh predator seksual anak untuk mencari korbannya. Khususnya di masa pandemi Covid-19, peluang anak menjadi korban pelecehan seksual di internet semakin besar karena penggunaan gawai yang meningkat.
Ai menjelaskan, biasanya, predator seksual ini akan berpura-pura menjadi anak lain dan melancarkan aksinya dengan meminta foto-foto asusila dari korban. Predator semacam ini masuk ke grup-grup media sosial tentang hal yang sedang digandrungi oleh anak.
Di masa pandemi khususnya, banyak anak menggunakan gawai mereka sejak pagi hingga siang hari. Selain itu, di masa normal pun banyak anak yang sudah kenal dengan gawai dan bisa menggunakannya untuk berbagai hal.
Orang tua sering kali lalai ketika anaknya menggunakan gawai. "Ini yang saya bilang perlu early warning yang harus betul-betul dihidupkan di berbagai lokasi, berbagai tempat," kata Ai dihubungi Republika, Rabu (15/7).
Menurutnya, pembelajaran secara daring memang memiliki sisi positif. Anak bisa belajar melalui sumber yang lebih baik. Namun, di satu sisi orang dewasa di sekitarnya harus mampu mendeteksi ketika ada yang janggal pada anak.
"Hari ini, eksodus besar-besaran terhadap media sosial itu luar biasa. Kemudian internet pada umumnya, dia juga bsia menjadi iklan tertentu, konten misalnya tayangan tertentu, animasi awalnya kartun, tapi kok di tengah ada tayangan porno misalnya," kata Ai.
Selain perlunya internet yang aman untuk anak, Ai menilai kekerasan seksual juga bisa dicegah bila terdapat kepekaan di lingkungan. Ia mencontohkan pada kasus pencabulan 305 anak yang dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA), Francois Abello Camille (FAC). Salah satu fakta lapangan adalah ditemukan 20 alat kontrasepsi di hotel tempat FAC menginap.
"Itu artinya, gimana sih mekanisme hotel dan children protection-nya di Indonesia. Itu yang saya kira perluasan kasus, tapi juga masuk dalam kerangka pencegahan," kata Ai.
Mestinya, ada sebuah mekanisme di tempat wisata mengenai perlindungan kepada anak. Ketika melihat sesuatu yang janggal menyertakan anak, mestinya terdapat kepekaan yang tidak hanya berbasis bisnis.
"Itu dampak ke depannya, bahwa betul-betul area wisata, saya bilang termasuk juga dunia usaha mengambil bagian strategis sebagaimana Undang-undang 35 Tahun 2014 untuk perlindungan pada anak-anak," kata dia lagi.
Kekerasan seksual pada anak baik perempuan atau laki-laki terus terjadi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang dilakukan tahun 2018, kekerasan seksual terjadi pada 1 dari 11 anak perempuan, dan 1 dari 17 anak laki-laki.
Sementara itu, berdasarkan laporan yang diterima KPAI khusus bidang traficking dan eksploitasi, pada tahun 2018 tercatat sebanyak 329 dan pada tahun 2019 sebanyak 244. Menurut Ai, setiap kasusnya selalu mendalam dan bukan hanya menimbulkan satu korban.
Ia mencontohkan, di dalam satu kasus yang terjadi pada satu pelaku FAC saja jumlah korbannya mencapai 305 anak. Hal serupa juga terjadi pada kasus-kasus lain yang memiliki korban lebih dari satu anak.
"ESKA (Eksploitasi Seks Komersial Anak) ini angkanya fluktuatif dan terus dinamis, kalau di antara kejahatan seksual secara umum dia selalu menempati urutan tinggi. Ini juga menggambarkan bahwa eksploitasinya banyak eksploitasi seksual, selain itu ekonomi. Satu kasus ini mendalam dan masif, bisa jadi satu kasus korbannya ratusan orang," kata Ai menjelaskan.