REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Pada 29 Mei 1453, Konstantinopel ditaklukan oleh Kekhalifahan Turki Utsmani. Menurut Prof Hamka (Buya Hamka) dalam bukunya yang berjudul Sejarah Umat Islam, ada tiga faktor yang membuat umat Islam saat itu ingin menaklukkan Konstantinopel.
Pertama, karena dorongan iman kepada Allah yang disemangati oleh hadits Nabi Muhammad, yang menjanjikan kota itu akan dapat ditaklukkan. Dan, sebaik-baiknya pemimpin serta tentaranya adalah sebaik-baiknya tentara.
Sebagai seorang Muslim, mereka ingin menjadi orang yang dipuji Nabi itu. Yang kedua, adalah karena beratus tahun lamanya, Kota Konstantinopel menjadi pusat kemegahan bangsa Romawi, yaitu sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Sementara sebelumnya, umat Islam telah bisa menaklukan Mada'in. Yaitu, pusat kekuasaan orang Persia.
Maka, belumlah cukup kekuasaan itu, sebelum Konstantinopel yang seimbang dengan kota Persia itu, dapat ditaklukkan. Yang ketiga ialah, keindahan Konstantinopel dan letaknya yang strategis sebagai penghubung dua benua besar Eropa dan Asia.
Jatuhnya Konstantinopel menjadi pintu gerbang bagi kekalifahan Utsmani untuk melebarkan sayap kekuasaanya ke Mediterania Timur hingga ke semenanjung Balkan. Peristiwa ini kelak menjadi titik krusial bagi stabilitas politik Ustmani sebagai kekuatan adikuasa kala itu, jika bukan satu-satunya di dunia. Tanggal 29 Mei 1453 juga ditandai sebagai era berakhirnya Abad Pertengahan.
Nama Konstantinopel kemudian diubah menjadi Istanbul yang berarti kota Islam. Istanbul, kerap dilafalkan Istambul, kemudian sebagai ibu kota kekalifahan Utsmani hingga kejatuhannya pada 1923. Kota pelabuhan laut ini menjadi pusat perdagangan utama Turki moderen saat ini. Secara geografis, wilayah Istanbul 'terbelah' dua dan masing-masing terletak di Asia dan Eropa. Berpenduduk hingga 16 juta jiwa, Istanbul adalah salah satu kota terpadat di Eropa.