Kamis 16 Jul 2020 09:39 WIB

Ekonom: Masalah UMKM tidak Hanya Permodalan

Tekanan terhadap UMKM semakin tinggi karena aktivitas masyarakat yang terganggu.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah perajin menyelesaikan pembuatan batik di industri rumahan di Rusun Marunda, Jakarta, Selasa (14/7). Tekanan terhadap UMKM semakin tinggi karena aktivitas masyarakat yang terganggu.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Sejumlah perajin menyelesaikan pembuatan batik di industri rumahan di Rusun Marunda, Jakarta, Selasa (14/7). Tekanan terhadap UMKM semakin tinggi karena aktivitas masyarakat yang terganggu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Enny Sri Hartati menyebutkan, pemerintah sebaiknya perlu membuat program stimulus yang lebih komprehensif dan konkret untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kebijakan pemerintah yang saat ini baru terfokus mengatasi isu permodalan dinilai belum mampu membantu UMKM, terutama di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Enny menyebutkan, sebagian besar kendala yang dihadapi UMKM adalah permodalan. Tapi, masih ada 40 persen sisanya yang berbicara di luar isu tersebut, seperti pemasaran (15 persen), ketersediaan bahan baku (13 persen), keterampilan (10 persen) hingga perizinan (dua persen).

Artinya, Enni mengatakan, UMKM tidak hanya butuh bantuan dari sisi permodalan atau pembiayaan. "Sehingga apa yang harus dilakukan pemerintah harus in line dengan sumber permasalahan yang sedang kita hadapi," ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (15/7).

Pada masa pandemi, Enny menambahkan, tekanan terhadap UMKM semakin tinggi karena aktivitas masyarakat yang terganggu. Aliran bahan baku yang biasanya lancar pun kini terhambat. Distribusi barang menjadi lebih mahal karena perlu penyesuaian dan mematuhi protokol kesehatan Covid-19, sehingga terjadi inefisiensi.

Sebagai dampaknya, penghasilan UMKM terkendala dan bermasalah dari sisi arus kas atau likuiditas. "Likuiditas ini implikasi konsekuensi dari problem persoalan Covid-19. Jadi, persoalan utamanya bukan gangguan likuiditas, namun yang terganggu adalah ekonomi masyarakat," tutur direktur eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) ini.

Sejauh ini, pemerintah sudah melaksanakan program restrukturisasi kredit, pembebasan pajak dan stimulus lain. Tapi, Enny menilai, kebijakan ini belum diterapkan secara konkret dan efektif. Karena ini dalam kondisi krisis, ia meminta pemerintah membuat peraturan-peraturan akomodatif yang tetap tidak berisiko tinggi terhadap NPL.

Di sisi lain, Enny menjelaskan, pemerintah juga harus fokus menciptakan permintaan di masyarakat. Apabila ini tercapai, sudah hampir dipastikan produksi UMKM bisa pulih kembali, sekalipun dukungan perbankan minimal. Sebab, selama ini juga, tidak sampai 20 persen UMKM yang mendapatkan pembiayaan perbankan.

Enny menekankan, kemampuan adaptif UMKM terhadap perubahan pun sangat dibutuhkan. Hanya saja, mereka tidak bisa sendiri, terutama mikro dan kecil. "Oleh karena itu, dibutuhkan pendampingan, terutama dari pemerintah," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan, pemerintah dan otoritas keuangan harus menaruh fokus pada dunia usaha dan sektor keuangan untuk mencegah penyusutan ekonomi lebih parah.

Menjaga ketahanan dan keberlangsungan dunia usaha (sektor riil) sekaligus menjaga stabilitas sektor keuangan menjadi penentu keberhasilan menghindari terjadinya krisis yang semakin dalam. "Ini juga membantu kita mempersiapkan recovery yang cepat ketika wabah berlalu," kata Piter dalam kesempatan yang sama.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement