Kamis 16 Jul 2020 12:06 WIB

Putin Ingin Perjanjian Nuklir Iran Kembali Diperpanjang

Putin mendesak perjanjian nuklir JCPOA diperpanjang

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Presiden Rusia Vladimir Putin mendesak perjanjian nuklir JCPOA diperpanjang. Ilustrasi.
Foto: Junko Ozaki/Kyodo News via AP
Presiden Rusia Vladimir Putin mendesak perjanjian nuklir JCPOA diperpanjang. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan sanksi terhadap Iran tidak memiliki peluang untuk berhasil mencapai tujuan, Rabu (15/7). Dia mendesak agar Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) kembali diperpanjang untuk menyelesaikan masalah nuklir.

Dalam percakapan telepon dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, Putin mendesak  kesepakatan nuklir Iran 2015 harus tetap berjalan. Rusia menganggap ini sebagai alat utama untuk menyelesaikan masalah penelitian nuklir Iran.

Baca Juga

"Presiden Rusia menekankan keputusasaan sanksi dan tekanan pada Teheran dalam hal ini dan pentingnya menjaga Rencana Aksi Bersama Komprehensif pada program nuklir Iran, yang disetujui oleh Resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB," kata pernyataan Kremlin dikutip dari Midddle East Monitor.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran pada akhir Juni. Dia memperingatkan bahwa mengakhiri embargo akan membahayakan stabilitas di Timur Tengah.

Pompeo mengatakan Iran dapat secara langsung bergerak untuk membeli jet tempur Rusia dan meningkatkan armada kapal jika embargo berakhir. Teheran dinilai akan bebas menjadi pedagang senjata, memasok senjata untuk memicu konflik dari Venezuela, Suriah, hingga ke Afghanistan.

Selain masalah Iran, Putin dan Merkel menyatakan persetujuan atas kebutuhan untuk mengatasi krisis di Libya secara eksklusif dengan metode politik dan diplomatik. Keduanya melalui pembentukan dialog antar-Libya sebagaimana ditentukan oleh keputusan konferensi Berlin pada Januari, yang disetujui oleh Dewan Keamanan PBB.

Libya telah dihancurkan oleh perang saudara sejak penggulingan penguasa Muammar Gaddafi pada 2011. Pemerintah baru Libya didirikan pada 2015 berdasarkan perjanjian yang dipimpin oleh PBB, tetapi upaya untuk penyelesaian politik jangka panjang gagal karena serangan militer oleh pasukan Khalifa Haftar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement