REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutus lima menterinya untuk mengirimkan surat sebagai sikap resmi pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sebelum menuju ke DPR, kelima menteri itu berkumpul terlebih dahulu di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
"Pemerintah sudah punya posisi dan pandangannya yang hari ini akan disampaikan langsung kepada pimpinan DPR karena sesudah ini DPR akan reses," ujar Menko Polhukam, Mahfud MD, sesaat sebelum bertolak ke DPR bersama menteri lain dan rombongan-rombongannya di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (16/7).
Mahfud menjelaskan, ia bersama lima orang menteri lainnya diutus oleh Presiden Jokowi untuk mengantarkan pandangan dan posisi pemerintah tentang RUU HIP ke DPR. Pemerintah sudah menentukan sikap setelah menyerap pandangan-pandangan dan konsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat, membaca media massa, dan sebagainya.
Menteri-menteri lain yang terlihat hadir di Kemenko Polhukam, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Seorang menteri lainnya, yakni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dikabarkan juga akan berangkat menuju ke DPR.
Sebelumnya, rencana pengiriman pernyataan sikap terkait RUU HIP secara resmi ke DPR sudah Mahfud sampaikan kemarin. Setelah penyampaian sikap resmi sudah dilakukan, pemerintah menyerahkan kelanjutan RUU tersebut ke DPR.
"Pemerintah besok akan menyampaikannya secara resmi, secara fisik dalam bentuk Surat Menteri yang akan menyampaikan ke situ mewakili Presiden Indonesia," ungkap Mahfud dalam konferensi pers yang dilaksanakan di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (15/7).
Setelah surat resmi itu diserahkan, Mahfud mengatakan, kelanjutan RUU HIP itu berada di tangan DPR. Menurutnya, sikap pemerintah sudah jelas, yakni meminta DPR untuk mendengar aspirasi masyarakat dalam prosedur pembahasannya dan menolak beberapa hal yang menyangkut substasi dalam RUU HIP.
"Bahwa TAP MPRS itu (TAP MPRS Nomor 25 Tahun 66) final dan Pancasila yang sah, resmi, itu adalah Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang bunyinya tidak bisa dikurangi dan tidak bisa ditambah," jelas dia.
Dia menjelaskan, sebelum penyampaian surat resmi, pemerintah sudah menyampaikan sikap secara politis dengan mengumumkannya ke publik terlebih dahulu pada 16 Juni 2020. Pada kesempatan itu Mahfud mewakili pemerintah meminta DPR untuk menunda membicarakan RUU HIP.
"Karena dua alasan. Satu, pemerintah ingin lebih fokus ke penanganan Covid. Kedua, materinya masih menjadi pertentangan dan perlu lebih banyak menyerap aspirasi. Sehingga DPR diminta untuk banyak lagi mendengar pendapat masyarakat," katanya.
Terkait substansi, ada dua sikap dasar pemerintah. Pertama, jika ingin berbicara penyebarluasan Pancasila, maka ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 harus menjadi dasar pertimbangan utama sesudah Undang-Undang Dasar (UUD). Tanpa itu, kata dia, pemerintah ada pada posisi tidak setuju untuk membicarakannya.
"TAP MPRS nomor 25 tahun 66, yaitu tentang pembubaran PKI dan larangan penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, Leninisme kecuali untuk keperluan studi akademik, bukan untuk penyebaran," tutur dia.
Hal kedua yang menyangkut substansi RUU HIP, pemerintah menilai Pancasila yang resmi dan dipakai itu hanya satu, yakni Pancasila yang ada pada UUD 1945. Pancasila pada UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 yang terdiri dari lima sila dan merupakan satu kesatuan makna.
"Dimaknai dalam satu tarikan napas, tidak bisa dipisah, tidak bisa dikurangi, tidak bisa diperas. Pokoknya itu Pancasila, bukan tri atau eka. Itu posisi pemerintah," ungkap dia.
Di luar Gedung DPR, sekelompok massa unjuk rasa mulai padati DPR sejak Kamis (16/7) pagi. Sejumlah massa yang mengatasnamakan LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) terlihat berkumpul di sekitaran pintu masuk sebrang lapangan.
"LSM GMBI mendesak agar DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan atau penggantinya yang memiliki substansi yang sama serta membubarkan Panitia Kerja RUU HIP atau sebutan lainnya," kata Ketua LSM GMBI Moh Fauzan Rahman dalam keterangannya.
Berdasarkan pantauan Republika, massa unjuk rasa juga terlihat di depan pintu gerbang utama DPR. Terlihat beberapa diantaranya massa FPI dan Persaudaraan Alumni 212.
Imbasnya lalu lintas di sekitaran Jalan Gatot Subroto yang melintas di depan Gedung DPR macet. Kemacetan tidak hanya dikarenakan padatnya massa aksi. Para pedagang yang memanfaatkan demonstrasi juga terlihat memadati di sekitaran lokasi unjuk rasa.