REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedutaan Besar China di Indonesia menyampaikan, pernyataan Amerika Serikat (AS) tentang Laut China Selatan mengabaikan fakta sejarah. AS pun dinilai melanggar komitmen untuk tidak mengambil posisi pada masalah kedaulatan wilayah tersebut.
Dalam pernyataan tersebut, Kedubes China menyatakan AS telah melanggar dan mendistorsi hukum internasional, sengaja memicu sengketa wilayah dan maritim, serta merusak perdamaian dan stabilitas regional. Upaya tersebut dianggap sebagai bentuk tidak bertanggung jawab.
AS yang berada di luar kawasan dianggap hanya menginginkan kekacauan di Laut China Selatan. Dengan menyulut masalah dan menabur perselisihan antara China dan negara-negara regional lainnya, AS ingin membawa keuntungan dari perairan yang sedang kacau.
"Kami sangat menyesalkan dan dengan tegas menentang langkah yang salah oleh AS dan mendesaknya untuk berhenti menggerakkan masalah di Laut China Selatan dan berhenti melangkah lebih jauh ke jalan yang salah," ujar Kedubes China untuk Indonesia, Kamis (16/7).
Kedubes China menjelaskan, Beijing telah secara efektif menjalankan yurisdiksi atas pulau-pulau, terumbu, dan perairan yang relevan di Laut China Selatan selama ribuan tahun. Klaim ini merujuk pada 1948, saat pemerintah secara resmi menerbitkan garis putus-putus, tanpa negara lain yang mengajukan perselisihan dalam waktu yang sangat lama.
"Kedaulatan teritorial China dan hak serta kepentingan maritim di Laut China Selatan didasarkan pada sejarah dan hukum dan konsisten dengan hukum dan praktik internasional yang relevan," ujar pernyataan Kedubes China yang diterima Republika.
China pun menyatakan tidak pernah berupaya membangun kerajaan maritim di Laut China Selatan. Selama ini, pemerintah mengaku memperlakukan negara tetangga Laut China Selatan secara setara dan melakukan pengekangan maksimum saat menjaga kedaulatan, hak, dan kepentingan wilayah tersebut.
Kedubes China menyatakan AS justru yang menolak untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Washington dianggap hanya mematuhi hukum internasional ketika kesempatan itu berlaku untuk kepentingannya sendiri.
Berdasarkan Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) yang ditandatangani oleh China dan negara-negara anggota ASEAN pada 2002, Beijing berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa wilayah dan yurisdiksi melalui konsultasi dan negosiasi. Saat ini, upaya bersama membuat situasi di Laut China Selatan dinilai stabil.