REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Menteri Ekonomi Jepang Yasutoshi Nishimura akan bertemu dengan para pakar. Pertamuan diadakan setelah kritikus khawatir kampanye pariwisata domestik senilai miliaran dolar mendorong masyarakat keluar dari Tokyo lalu meningkatkan risiko penyebaran Covid-19.
Kekhawatiran yang muncul di Jepang menyoroti teka-teki yang harus dihadapi pemerintah di seluruh dunia bagaimana menyeimbangkan upaya membangkitkan kembali perekonomian di saat yang sama menjaga kesehatan masyarakat. Nishimura akan bertemu pakar untuk membahas kampanye mempromosikan pariwisata domestik yang dinamakan 'Go To'. Pertemuan ini dijadwalkan satu hari setelah Gubernur Tokyo Yuriko Koike mempertanyakan waktu dan metode kampanye tersebut.
Juru bicara pemerintah Kepala Staf Kabinet Yoshihide Suga menyoroti dampak menghancurkan virus corona terhadap perekonomian Jepang karena tidak ada wisatawan asing yang masuk ke negara itu. "Kami berharap kampanye Go To mendorong pariwisata dan industri makanan dan minuman dan memulihkan kembali ekonomi dan sosial sehingga kawasan dapat keluar dari situasi yang sangat buruk ini," kata Suga dalam konferensi pers, Kamis (16/7).
Jepang tidak mengalami ledakan wabah virus corona yang menginfeksi puluhan ribu orang di negara lain. Tapi kasus-kasus baru terutama di Tokyo telah memicu peringatan. Ibu kota Jepang itu sudah menaikkan level peringatan penyebaran virus corona ke tahap tertinggi.
"Berdasarkan situasi penyebaran saat ini saya sangat ingin mereka memikirkan ulang waktu dan metode dalam mengimplementasi kampanye," kata Koike pada Rabu (15/7) lalu.
Koike mengatakan Tokyo mungkin akan melihat 280 kasus infeksi pada Kamis ini, angka infeksi tertinggi dalam satu hari di ibu kota tersebut. Kampanye yang dijadwalkan dimulai pada 22 Juli itu akan memberikan subsidi pada wisatawan sebesar 50 persen. Tujuannya untuk mendorong pariwisata di luar daerah permukiman.
Nishimura mengatakan ia ingin mendengar pendapat para ahli dalam upaya menahan penyebaran virus. Seperti mencegah pertemuan besar dan memastikan ketersediaan ventilasi di setiap moda transportasi.
Pemerintah Jepang tampaknya menghindari kebijakan di rumah saja yang berhasil menahan penyebaran virus tapi mengganggu perekonomian. Pasalnya kebijakan tersebut membuat perekonomian Negeri Sakura mengalami penyusutan tercepat dalam beberapa dekade terakhir.
Oposisi pemerintah dan pihak lainnya khawatir warga Tokyo akan menyebarkan virus ke daerah lain yang relatif tingkat penyebarannya rendah. Sebab sejak awal pandemi, ibu kota menjadi pusat wabah di Jepang.
"Saya tidak melihat mengapa tidak bisa menunggu sedikit lebih lama atau membatasi sejumlah daerah tertentu," kata Gubernur Okayama, Ryuta Ibaragi.