Kamis 16 Jul 2020 20:20 WIB

Ketika Dua Brigjen Polri Tersangkut Kasus Djoko Tjandra

Tim independen dipandang perlu selidiki keterlibatan Polri dan Djoko Tjandra.

Ketua Majelis Hakim Nazar Effriandi (tengah) memimpin sidang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (6/7/2020). Sejak pengajuan PK, terungkap sudah pencabutan red notice dan terbitnya surat jalan dari dua Brigjen Polri untuk Djoko Tjandra.
Foto: RENO ESNIR/ANTARA FOTO
Ketua Majelis Hakim Nazar Effriandi (tengah) memimpin sidang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (6/7/2020). Sejak pengajuan PK, terungkap sudah pencabutan red notice dan terbitnya surat jalan dari dua Brigjen Polri untuk Djoko Tjandra.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Haura Hafizah

Kapolri Idham Aziz telah mencopot Brigjen Prasetyo Utomo menyusul terbitnya surat jalan bagi tersangka buron Djoko Tjandra. Pencopotan saja namun dirasa tidak cukup.

Baca Juga

Pengamat Hukum dan Tata Negara Profesor Juanda menilai pemerintah seharusnya membentuk tim independen terkait keluarnya surat jalan Djoko Tjandra. Menurutnya, tim beranggotakan gabungan antar lembaga termasuk para pakar hukum agar hasilnya dapat objektif.

"Saya kira Kapolri harus buka ruang agar hasil penyelidikan objektif. Jadi tidak cukup hanya sampai pencopotan pihak tertentu saja," kata Profesor Juanda di Jakarta, Kamis (16/7).

Dia mengatakan, tim independen itu nantinya akan bertugas menginvestigasi dengan tuntas kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain dalam keluarnya KTP hingga surat jalan Djoko Tjandra. Lanjutnya, bukan tidak mungkin ada oknum di atas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Bareskrim yang ikut terlibat.

"Kalau ada investigasi yang menyeluruh maka itu nanti akan diketahui siapa yang terlibat apakah memang sendiri sendiri atau siapa lagi," katanya.

Dia juga meminta agar tim tersebut bekerja secara komprehensif dan terbuka agar hasil penyelidikan objektif. Dia mengatakan, hal itu guna menghindari interpretasi subjektif dari berbagai pihak atau bahkan publik terkait hal tersebut.

Secara khusus, dia menilai bahwa tim lebih baik bekerja di bawah Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Dia meminta Menteri Polhukam tidak bersikap menunggu tapi aktif serius mengungkap kasus tersebut.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengatakan Brigjen Pol Prasetijo Utomo tidak cukup hanya dicopot jabatannya. Ia juga harus dikenakan hukuman pidana.

Sebab sudah melindungi buronan korupsi Djoko Tjandra dengan memberikan surat jalan. Kompolnas ingin ada penegakan hukum yang berjalan sesuai aturan yang berlaku.

"Selain dicopot, kami ingin yang bersangkutan diperiksa secara pidana dengan dugaan melindungi buronan koruptor. Ini adalah bentuk Obstruction of Justice, menghalang-halangi penegakan hukum, yang ironisnya yang bersangkutan adalah penegak hukum," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti saat dihubungi Republika, Kamis (16/7).

Kemudian, ia melanjutkan kasus tersebut sangat memalukan dan merusak citra Polri. Oleh karena itu, harus ada sanksi tegas bagi anggota yang terlibat. "Saya heran, bagaimana mana mungkin ada surat jalan pada orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan Polri? Apalagi digunakan untuk melindungi buron koruptor besar," kata dia.

Menurutnya, perbuatan Brigjen Pol Prasetijo Utomo memalukan dan mencoreng institusi Polri. Hasil pemeriksaan Propam, yang bersangkutan mengakui perbuatannya dan dilakukan atas inisiatif sendiri. Meskipun saat ini, Propam terus berupaya mengungkap kalau kemungkinan ada keterlibatan orang lain.

Ia menegaskan Brigjen Pol Prasetijo Utomo harus diproses secara hukum untuk pertanggung jawaban baik secara hukum pidana maupun aturan internal terkait disiplin dan kode etik profesi Polri. "Kompolnas akan terus memantau proses pertanggung jawaban tersebut. Sebab, hal ini menjadi catatan khusus terkait integritas Perwira Tinggi Polri," kata dia.

Brigjen Pol Prasetijo Utomo yang membuat dan mengizinkan surat jalan untuk Djoko Tjandra tidak hanya dicopot dari jabatannya. Ia ditahan selama 14 hari di Mabes Polri. Tepatnya, di tempat Provost khusus anggota.

Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo meminta para anggota Polri agar tidak mengulang kasus seperti Brigjen Pol Prasetijo Utomo serta melanggar aturan yang sudah diatur. Jika ada yang tidak sanggup dengan komitmen Polri mulai sekarang harus mundur dari Mabes Polri.

"Komitmen Mabes Polri untuk menjaga nama baik institusi sebagaimana waktu itu saya sampaikan. Kami akan tindak tegas menindak anggota yang melanggar. Jika tidak sanggup silahkan mundur dari sekarang," katanya di Bareskrim Mabes Polri, Kamis (16/7).

Kemudian, ia melanjutkan jika ada anggota Polri yang berprestasi akan diberi penghargaan. Tentunya ini komitmen dari pimpinan Polri dan khususnya dari jajaran Bareskrim Polri untuk menjaga marwah institusi. "Bagi anggota yang berprestasi akan kami berikan reward," katanya.

Namun, ia menambahkan terkait kasus Brigjen Pol Prasetijo Utomo yang membuat dan mengizinkan surat jalan untuk buronan korupsi Djoko Tjandra saat ini pihaknya sedang melaksanakan penyidikan secara tuntas. "Itu adalah bagian dari komitmen kami bahwa kami akan melaksanakan penyidikan secara  tuntas, tegas sesuai komitmen kami untuk menjaga marwah institusi Polri," kata dia.

Penghapus red notice

Penyelidikan Polri tidak hanya terkait pemberi surat jalan. Pencabut red notice Djoko Tjandra di Interpol juga turut diselidiki Polri.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono mengatakan sudah mendapati hasil sementara pemeriksaan dari Div Propam terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra. Muncul dugaan Brigjen Nugroho Wibowo melanggar kode etik. Namun, sampai saat ini Div Propam masih menyelidiki dan memeriksa Brigjen Nugroho Wibowo.

"Ya berkaitan dengan penghapusan red notice Djoko Tjandra sampai saat ini Div Propam masih memeriksa pak NW. Belum selesai juga. Daripada pemeriksaan ini diduga melanggar kode etik," katanya di Bareskrim Mabes Polri, Kamis (16/7).

Kemudian, ia melanjutkan Div Propam juga sedang memeriksa saksi-saksi lain yang berkaitan dengan kasus tersebut. "Ya dilihat nanti ya hasilnya, penyidikan tahu bagaimana detailnya untuk selidiki kasus tersebut," kata dia.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan Brigjen Nugroho Wibowo yang telah menghapus red notice Djoko Tjandra juga harus dicopot dari jabatannya sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Ia menduga ada kerja sama antara Bareskrim dan Interpol untuk melindungi Djoko Tjandra.

"Ada dugaan suap menyuap di balik persekongkolan jahat melindungi buronan kakap Djoko Tjandra dan ini harus diusut tuntas. Lalu, Brigjen Nugroho Wibowo yang telah menghapus red notice Djoko Tjandra juga harus dicopot dari jabatannya sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia," katanya dalam keterangan tertulis.

Kemudian, ia menjelaskan melalui surat No: B/186/V/2020/NCB.Div.HI tertanggal 5 Mei 2020, Brigjen Nugroho mengeluarkan surat penyampaian penghapusan Interpol red notice Djoko Tjandra kepada Dirjen Imigrasi. Salah satu dasar pencabutan red notice itu adalah adanya surat Anna Boentaran pada 16 April 2020 kepada NCB Interpol Indonesia yang meminta pencabutan red notice atas nama Djoko Tjandra.

"Surat itu dikirim Anna Boentaran 12 hari setelah Brigjen Nugroho duduk sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Begitu mudahnya, Brigjen Nugroho membuka red notice terhadap buronan kakap yang belasan tahun diburu di Indonesia," kata dia.

Djoko adalah buron BLBI yang juga terpidana kasus cessie Bank Bali sebesar Rp 546 miliar masuk dalam daftar buronan interpol sejak 2009. Djoko yang warga Indonesia itu resmi jadi warga Papua Nugini sejak Juni 2012.

Sejak 2009, dia meninggalkan Indonesia. Saat itu sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan atas perkaranya, Djoko berhasil terbang ke PNG dengan pesawat carteran. Di sana Djoko mengubah indentitasnya dengan nama Joe Chan dan memilih berganti kewarganegaraan menjadi penduduk PNG.

Dalam kasusnya, Djoko oleh MA diputus bersalah dan harus dipenjara 2 tahun. Tak hanya itu, ia juga diwajibkan membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk Negara. Belakangan, diketahui sosok Djoko diduga lebih banyak berada di Singapura.

Keberadaan Djoko di Indonesia kembali terkuak saat ia mengajukan Peninjauan Kembali kasusnya di PN Jaksel pertengahan Juni 2020. Dari situ diketahui sang buron telah memiliki KTP-el yang diterbitkan Kelurahan Grogol Selatan dan juga memiliki paspor WNI.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement