REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia(UI) Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa Indonesia pantas untuk menjadi negara pereda dalam ketegangan antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan (LCS).
"Karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang besar dan tidak mempunyai konflik baik dengan China maupun AS," ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (16/7).
Untuk itu, menurut dia, Indonesia harus menyampaikan kesediaan untuk menjadi honest peace broker atau juru damai yang tidak memiliki kepentingan. Selain itu, Indonesia harus dapat menyampaikan ke China agar tidak memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk meraih keuntungan dengan berupaya mengklaim Laut China Selatan, bahkan hingga menutup jalur pelayaran internasional.
Hikmahanto mengatakan bahwa bila China memanfaatkan suasana pandemi untuk bertindak secara sepihak di LCS maka China tidak hanya berhadapan dengan negara-negara yang bersengketa dengannya, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam dan Filipina, tetapi juga berhadapan dengan AS dan sekutunya.
"Indonesia juga harus menyampaikan kepada AS untuk dapat menahan diri dalam penggunaan kekerasan terhadap China karena penggunaan kekerasan tidak akan memberi keuntungan apapun kepada negara-negara di kawasan," ujar dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan pemerintah RI perlu menyampaikan ke dunia bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, baik laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE) maupun landas kontinen.
"Ketegasan ini perlu disampaikan karena Indonesia tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak dari China terkait sembilan garis putus," ujar Hikmahanto.
Klaim tersebut ditolak oleh Indonesia dengan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan berbendera China yang memasuki wilayah ZEE Indonesia.
"Indonesia punya perhatian besar agar ketegangan antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan tidak berubah menjadi perang antara dua negara besar," kata dia.
Menurutnya, China tidak seharusnya menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaim di LCS karena hukum internasional tidak mengakui penggunaan kekerasan untuk perolehan wilayah. Dia menambahkan, AS pun juga tidak seharusnya menggunakan kekerasan karena AS bukan negara yang berada di kawasan.
"Jangan sampai kawasan Laut China Selatan sebagai battle ground AS di luar kawasan," katanya.