Jumat 17 Jul 2020 06:05 WIB

Santri, Terorisme, dan ‘Mabuk’ Opini Ala Denny Siregar

Santri menempuh aspek perjalanan panjang akademik-keislaman dalam dunia pesantren.

Rep: Imas Damayani/ Red: Agus Yulianto
Polisi memeriksa dua orang santri terkait kasus dugaan tindak pidana ujaran kebencian yang dilakukan Denny Siregar, di Polresta Tasikmalaya.
Foto: Republika/Bayu Adji P.
Polisi memeriksa dua orang santri terkait kasus dugaan tindak pidana ujaran kebencian yang dilakukan Denny Siregar, di Polresta Tasikmalaya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imas Damayanti

JAKARTA -- Jagat maya dihebohkan dengan aksi Denny Siregar yang mengunggah foto dua santri dengan caption-nya: ‘calon teroris’. Hal ini menjadi kontroversi--yang sayangnya--bukan sekali dua kali dilakukan oleh Denny Siregar.

Sejak aktif di media sosial dalam beberapa tahun terakhir, profil Denny Siregar kerap dipertanyakan warganet. Bagi pendukungnya--atau minimal orang yang sependapat dengan beberapa pandangannya--Denny Siregar dianggap sebagai influencer. Sedangkan bagi yang bersebrangan dengannya, ia dianggap simpatisan suatu kelompok politik tertentu dan bahkan disebut buzzer.

Terlepas dari latar belakang dan bagaimana dia dikenal oleh warganet, namun tindakannya yang bersinggungan dengan santri itu jelas blunder yang harus diwaspadainya. Sebab, Denny memang kerap kali menarasikan opini yang cenderung tendensius terutama ke kalangan Muslim kanan. Yang mana bisa jadi kasus dengan menuduh santri sebagai ‘calon teroris’ ini bisa menjadi batu sandungan yang tak hanya membuat dia tersandung, tapi jatuh terjerembab ke jurang yang dalam.

photo
Dokumen pelaporan massa aksi terhadap pernyataan Denny Siregar ke Polresta Tasikmalaya. - (dok. Istimewa)

Opini Denny Siregar patut dipertanyakan sebab dia membawa embel-embel santri dalam opininya yang cenderung melabelkan. Santri sebagaimana diketahui berasal dari lingkup pesantren yang ditempa dengan beragam disiplin ilmu.

Tak perlu dipertanyakan soal cinta tanah air oleh santri atau menuduh mereka sebagai calon-calon teroris. Di pesantren, santri-santri dididik untuk khatam mengamalkan Pancasila sejak bangun tidur hingga bertemu tidur lagi. Bahkan peran santri di masa pergerakan kemerdekaan bukan main-main melalui komando KH Hasyim Asyari. Jadi, NKRI-nya santri bukan kaleng-kaleng, mamen!

Dalam buku Dari Pesantren untuk Dunia karya Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Komaruddin Hidayat dijelaskan, dengan disiplin keilmuan agama yang ketat serta amaliah tentang kenegaraan yang kuat, para santri mampu menjadi insan-insan unggul ketika berkecimpung di dalam lingkup kenegaraan.

Santri menempuh aspek perjalanan panjang akademik-keislaman dalam dunia pesantren. Yang mana hal tersebut melekat kuat dalam sanubari mereka dan dibawa serta diaplikasikan dalam berkecimpung ke lingkup masyarakat.

photo
Mantan ketua KPK, Antasari Azhar (kiri) bersama Denny Siregar (kanan) - (Republika/Riza Wahyu Pratama)

Terbukti, Prof Komaruddin Hidayat menjelaskan, tak terhitung jumlah pesantren yang mampu mencetak generasi jempolan untuk berkontribusi terhadap bangsa. Bahkan Presiden keempat RI berasal dari dunia santri-pesantren. 

Sementara jika menelisik tentang terorisme sendiri, harusnya Denny Siregar—yang kerap mencitrakan dirinya sebagai orang terdidik—harusnya paham bahwa istilah terorisme merupakan desain produk yang diciptakan barat untuk disematkan kepada umat Muslim.

Dalam buku Top 10 Masalah Islam Kontemporer karya Tohir Bawazir dijelaskan, istilah terorisme di masa lalu tidak dikenal. Hanya baru-baru ini saja dunia barat sengaja mempopulerkan istilah tersebut ke seluruh dunia sebagai suatu momok yang harus ditakuti manusia.

Istilah terorisme ini diberikan kepada orang-orang yang melakukan kekerasan dan teror guna mewujudkan tujuan-tujuan mereka secara cemen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terorisme itu merupakan fenomena kontemporer belaka yang made in barat bingits.

Dan yang paling penting lagi, hingga saat ini, dunia barat tidak memberikan definisi yang jelas apa yang dimaksud dengan aksi terorisme. Karena istilah terorisme tidak memiliki definisi jelas, maka terkadang barat kerap menggunakan standar ganda dalam menyebut istilah terorisme.

Bagi barat, terorisme dipahami sebagai teror tergantung dari siapa yang melakukan. Akan tidak disebut sebagai terorisme apabila yang melakukan aksi teror (baik melalui jalur politik, militer, dan aksi-aksi lainnya yang dianggap ‘legal) untuk memukul lawannya demi terwujudnya sebuah tujuan tertentu apabila dilakukan oleh barat atau negara-negara yang berafiliasi atau ikrib lah dengan barat.

Lantas, apa landasan bagi Denny Siregar mencap kedua santri tersebut sebagai ‘calon teroris’?

Jawabannya adalah tergantung Denny. Wong dia yang beropini dan mabuk beropini! Bagaimana dia beropini dalam memahami istilah terorisme itulah yang pada akhirnya membuat jari-jemari dia mengetikkan sebuah pernyataan, pada (27/6), dengan judul: ADEK2KU CALON TERORIS YG ABANG SAYANG. Bang Denny, ngopi apa ngopi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement