Jumat 17 Jul 2020 08:49 WIB

Sisi: Mesir Mampu Ubah Kancah Militer Libya

Presiden Sisi memberi sinyal akan melakukan intervensi militer di Libya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi.
Foto: Reuters
Presiden Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi mengatakan dia akan meminta persetujuan parlemen untuk melakukan operasi militer jika ada intervensi di Libya. Hal itu dia sampaikan saat bertemu para pemimpin suku Libya di Kairo, Kamis (16/7).

“Mesir mampu mengubah kancah militer di Libya dan telah memiliki pasukan terkuat di dunia Arab serta Afrika. Jika pasukan Mesir memasuki Libya, Anda (para pemimpin suku) akan menjadi pemimpin pasukan dengan bendera Libya,” kata Sisi, dikutip laman ahram online.

Dia mengatakan, pidato yang disampaikannya di pangkalan militer Sidi Barani tentang garis merah adalah undangan untuk perdamaian dan akhir dari konflik. Kala itu Sisi menekankan bahwa Sirte dan Al-Jufra adalah garis merah untuk keamanan nasional Mesir.

Sisi menegaskan Mesir tidak akan tinggal diam terhadap aksi atau tindakan yang mengancam keamanan nasional negaranya dan Libya, termasuk keamanan nasional Arab serta kawasan. “Tujuan utama upaya Mesir terhadap Libya di semua tingkatan adalah mendukung kehendak bebas rakyat Libya untuk mencapai masa depan yang lebih baik lagi bagi negara dan generasi masa depan,” ucapnya.

Pada kesempatan itu, Sisi mengatakan sejak Deklarasi Kairo diumumkan, diketahui bahwa salah satu pihak yang terlibat enggan mematuhi gencatan senjata. Inisiatif Deklarasi Kairo didasarkan pada resolusi Dewan Keamanan PBB dan kesimpulan konferensi Berlin.

Ia menetapkan gencatan senjata dimulai pada 8 Juni, dengan kepatuhan terhadap semua inisiatif internasional dan resolusi Dewan Keamanan pada kesatuan dan integritas wilayah Libya. Deklarasi Kairo turut menetapkan kelanjutan pembicaraan 5+5 Komisi Militer Bersama Libya di Jenewa, Swiss, yang disponsori PBB.

Semua pihak asing diwajibkan menyingkirkan semua tentara bayaran asing secara nasional, membubarkan milisi, dan menyerahkan senjata guna memungkinkan Libyan National Army (LNA) bekerja sama dengan aparat keamanan lainnya melaksanakan tugas militer mereka.

Government of National Accord (GNA) menolak hal tersebut. GNA merupakan pemerintahan Libya yang diakui PBB. Selama ini GNA terlibat pertempuran dengan LNA yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar.

Setahun belakangan, LNA melancarkan serangan ke basis GNA di Tripoli. Namun beberapa pekan terakhir, GNA, dengan bantuan Turki berhasil memukul mundur pasukan LNA dan merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai LNA, termasuk Tarhuna, benteng terakhir Haftar di Libya barat. GNA terus mendesak LNA hingga ke kota pesisir Sirte.

Mesir selaku pendukung LNA sempat menyerukan gencatan senjata. Khalifa Haftar yang posisinya tengah terdesak segera menyetujuinya. Namun Turki dan GNA menolak seruan tersebut. Mereka menilai seruan itu hanya taktik setelah LNA mengalami kekalahan telak dalam pertempuran.

Libya telah dilanda krisis sejak 2011, yakni ketika pemberontakan yang didukung NATO melengserkan mantan presiden Muamar Qadafi. Dia telah memimpin negara tersebut lebih dari empat dekade. Qadafi tewas setelah digulingkan.

Sejak saat itu, kekuasaan politik Libyaterpecah dua. Basis pertama memusatkan diri di Libya timur dengan pemimpinnya Khalifa Haftar. Sementara basis yang didukung PBB berada di Tripoli.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement