Jumat 17 Jul 2020 18:36 WIB

Jika Dunia Serakus Penduduk G20, Butuh 7 Planet Untuk Membuat Kenyang 

Perlu 7 planet seperti Bumi untuk pertahankan konsumsi pangan negara-negara G20.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/dpa/A. Rubtsov
picture-alliance/dpa/A. Rubtsov

Konsumsi pangan di negara-negara yang tergabung dalam kelompok G20 terlalu boros dan buruk dalam neraca emisi karbon, kata laporan pangan terbaru yang dirilis organisasi lingkungan World Wildlife Fund (WWF) hari Kamis (16/7) di Paris.

Laporan yang diberi judul Diet for a Better Future (Diet untuk Masa Depan yang Lebih Baik) itu menyebutkan, di antara negara anggota G20 hanya Indonesia dan India yang konsumsi pangannya cukup rendah untuk mencapai target iklim Paris, yaitu membatasi pemanasan global pada kisaran 1,5 derajat Celcius.

"Laporan ini jelas menunjukkan bahwa konsumsi pangan di negara-negara G20 tidak berkelanjutan, dan akan membutuhkan hingga 7,4 Bumi jika diadopsi secara global," kata Joao Campari dari WWF.

Argentina, Brasil, Kanada, Jerman, dan Amerika Serikat adalah di antara negara-negara yang secara berlebihan melampaui tingkat emisi karbon terkait pangan yang berkelanjutan. Sebagian besar karena tingginya konsumsi daging dan produk susu, kata laporan itu. Emisi karbon dari konsumsi pangan negara-negara G20, yang mencakup sekitar 64% dari populasi dunia, saat ini menciptakan 75% dari total emisi terkait pangan global.

"Saat ini, orang-orang di beberapa negara mengkonsumsi terlalu banyak makanan yang salah dengan mengorbankan seluruh dunia," kata Brent Loken, direktur pangan global di WWF dan penulis utama laporan itu. Pola makan yang tidak seimbang di segelintir negara kaya ini "merugikan iklim, kesehatan dan ekonomi," tambahnya.

Laporan itu disusun oleh EAT, organisasi nirlaba yang berbasis di Oslo dan telah memimpin penelitian kesehatan serta perubahan iklim dan juga menilai pola pangan negara-negara G20 dan memproyeksikan jejak karbon konsumsi pangan itu.

Produksi pangan berkelanjutan dapat turut mencegah pandemi

"Namun kabar baiknya adalah bahwa ada banyak pemerintahan, bisnis dan warga negara yang dapat melakukan (diet) sekarang untuk mewujudkan hal ini, membangun tindakan-tindakan untuk membawa situasi win-win bagi semua," kata Profesor Corinna Hawkes, direktur Pusat Kebijakan Pangan dari London University.

“Masalah makanan yang terbuang, menjadi sangat penting di antara negara-negara terkaya di dunia”!, kata penulis utama laporan itu, Brent Loken, yang menambahkan bahwa negara-negara kaya saat ini terlalu banyak membuang makanan.

"Makanan yang kita konsumsi dan bagaimana kita memproduksinya juga merupakan pendorong utama dalam munculnya virus mematikan seperti COVID-19. Pergeseran ke arah diet sehat dan berkelanjutan akan mengurangi risiko pandemi di masa depan," tambah Brent Loken.

Konsumsi daging merah dan susu pemicu emisi CO2

Laporan itu selanjutnya menyebutkan, sekitar 40% emisi karbon dari produksi pangan global berasal dari peternakan dan limbah makanan. Daging dan produk susu adalah beberapa makanan yang paling tidak berkelanjutan tetapi paling banyak dikonsumsi di negara-negara G20.

Laporan itu juga mengidentifikasi bahwa di banyak negara, pola konsumsi jauh melebihi rekomendasi diet ramah lingkungan. Jerman misalnya merekomendasikan konsumsi 50 gram daging merah sehari, namun konsumsi rata-rata yang sebenarnya adalah hampir 110 gram, atau lebih dua kali lipat di atas rekomendasi nasional, bahkan hampir empat kali lipat di atas rekomendasi global yaitu maksimal 28 gram sehari.

Brent Loken mengatakan, pola konsumsi pangan adalah salah satu sektor yang menentukan untuk membatasi emisi karbon, dan dapat dimanfaatkan untuk “mendorong transformasi yang sangat dibutuhkan menuju pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan, dan pada akhirnya, sistem pangan yang lebih tangguh."

hp/as (afp, rtr)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement