Sabtu 18 Jul 2020 06:43 WIB

Kewenangan Diperluas, LPS Maksimal Cegah Risiko Moral Hazard

LPS dapat melakukan penempatan dana bank tersebut walau belum gagal.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki strategi dalam menanggulangi risiko moral hazard. Hal ini seiring peran lembaga tersebut yang diperluas dari otoritas bank gagal menjadi pemasok likuiditas bank yang belum gagal.
Foto: Antara/Audy Alwi
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki strategi dalam menanggulangi risiko moral hazard. Hal ini seiring peran lembaga tersebut yang diperluas dari otoritas bank gagal menjadi pemasok likuiditas bank yang belum gagal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki strategi dalam menanggulangi risiko moral hazard. Hal ini seiring peran lembaga tersebut yang diperluas dari otoritas bank gagal menjadi pemasok likuiditas bank yang belum gagal.

Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih mengatakan pihaknya mengurangi risiko bank tetap gagal bayar dan harus ditangani, sehingga akan mengeluarkan biaya yang besar.

Baca Juga

“Atas permintaan bank bermasalah dan OJK, LPS dapat melakukan penempatan dana bank tersebut walau belum gagal. Risiko moral hazard bisa diperkecil dengan keterlibatan OJK dan BI dalam persetujuan, serta persyaratan jaminan (termasuk personal guarantee pemilik bank) dan lending-limit yang ketat,” ujarnya dalam keterangan tulis, Jumat (17/7).

Dalam memilih opsi resolusi bank gagal, lanjut Lana, LPS diharapkan tidak hanya mempertimbangkan opsi termurah (leats-cost-test/LCT) tapi juga aspek lainnya seperti kondisi perekonomian, kompleksitas bank, waktu penanganan dan ketersediaan investor. Namun LPS membutuhkan masukan atas biaya ekonomi di luar perhitungan LCT.

Pemerintah menerbitkan PP No 33 Tahun 2020 terkait perluasan kewenangan LPS. Peraturan tersebut diundangkan pada 7 Juli 2020 sesuai PP No 33 Tahun 2020, LPS bisa menyuntikkan dana pada bank yang kesulitan likuiditas dengan batas tertentu dan kriteria tertentu. Prasyarat yang diberikan yaitu total limit penempatan ke perbankan 30 persen dari aset LPS, limit penempatan per bank individu 2,5 persen dari aset LPS, dan tenor 1 bulan bisa roll-over untuk maksimum lima bulan.

Adapun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menganalisa kemampuan bank untuk membayar kembali dana LPS sebelum meminta penempatan. Nantinya pengembalian dana LPS dijamin pemilik bank dan LPS bisa menolak permintaan penempatan dana, serta implikasinya jalur resolusi normal dijalankan.

"UU LPS menentukan penempatan dana perbankan sebagai kebutuhan operasional (misalnya dalam antisipasi biaya resolusi bank gagal), bukan bantuan likuiditas ke bank bermasalah. PP Nomor 33 Tahun 2020 berpayung pada UU Nomor 2 Tahun 2020, LPS adalah otoritas ikut yang menangani krisis ekonomi Covid-19 dan menjaga SSK secara antisipatif/ preventif,” ucapnya.

Ditambahkan Lana tentang risiko, jika bank bermasalah tidak memenuhi prasyarat LPJP Bank Indonesia, persyaratan LPS akan dituntut lebih lunak agar bank bermasalah dapat dana LPS. Kemudian jika enam bulan setelah penempatan dana LPS, bank belum bisa akses ke pasar antar-bank maka LPS terpaksa memperpanjang penempatan.

Menyingung soal Bank Jangkar, Lana mengungkapkan Bank Jangkar ditunjuk sebagai bank yang menerima penempatan dana pemerintah untuk disalurkan ke debitur, khususnya bank kecil dan UKM. Namun menurutnya pemberian pinjaman dari bank jangkar ke debitur, tetap harus memenuhi prasyarat manajemen risiko.

"Dalam pemberian pinjaman dari Bank Jangkar yang sudah ditunjuk pemerintah, bank tetap harus memenuhi syarat-syarat yang sudah diberikan. Sementara rata-rata LDR Bank Jangkar relatif rendah dan cukup likuiditasnya untuk penyaluran kredit. Dengan kenaikan NPL dan credits-at-risk, bank akan lebih konservatif walau likuiditasnya aman," jelasnya.

OJK mengumumkan bank-bank yang selama ini menjadi supplier di pasar uang antar bank (PUAB) akan menjadi Bank Jangkar (Bank Anchor). Kriteria yang dimiliki harus sesuai dengan PP No 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka mendukung kebijakan keuangan negara untuk penanganan Covid-19.

Dalam hal ini ada tujuh bank yang telah memiliki kriteria tersebut di antaranya adalah bank yang masuk dalam golongan Bank Himbara yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Kemudian, PT Bank Central Asia, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat, dan PT Bank Syariah Mandiri.

Saat ini pemerintah Indonesia terus memaksimalkan pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19, melalui anggran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695 triliun. Pelaksanaan PEN dilakukan dengan PMN, Penempatan Dana, Investasi Pemerintah, dan Penjaminan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement