Sabtu 18 Jul 2020 13:51 WIB

Utang atau Hawalah Bisa Dialihkan, Ini Dalilnya

Akad hawalah disyariatkan dari Alquran, sunnah, ijma, dan qiyas.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Ani Nursalikah
Utang atau Hawalah Bisa Dialihkan, Ini Dalilnya
Foto: wordpress.com
Utang atau Hawalah Bisa Dialihkan, Ini Dalilnya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Layaknya sebuah benda kepemilikan, utang juga bisa dialihkan kepada orang lain. Utang seseorang bisa dialihkan kepada orang lain setelah ada ijab pengalihan utang yang disebut akad hawalah.

Ustadz Syafri Muhammad Noor dalam bukunya Akad Hawalah Fiqih Pengalihan Hutang mengatakan akad hawalah dilakukan agar tidak terjadi kedzaliman yang dilakukan peminjam kepada orang yang meminjami. "Maka syariat Islam memberikan jalan keluar berupa akad hawalah kepada mereka yang mempunyai utang dan tidak bisa membayarkannya karena faktor-faktor tertentu," katanya.

Baca Juga

Akad hawalah disyariatkan dari Alquran, sunnah, ijma, dan qiyas. Dalam Alquran Allah SWT menjelaskan secara umum tentang kebolehan melakukan hawalah, di antaranya, sebagai berikut.

  • Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” ”Dari ayat diatas dapat disimpulkan Allah SWT menyuruh kepada kita semua melakukan kebajikan dalam bentuk apa pun dan perkara hawalah merupakan salah satu bentuk kebajikan," kata Ustadz Syafri.
  • Dalam surah Al-Hajj ayat 77 Allah juga berfirman: "Berbuatlah kebaikan agar kalian beruntung."  
  • Dalil dari sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Menunda-nunda pembayaran utang dari orang yang mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan apabila (utang) salah seorang dari kamu dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima." (HR. Ahmad dan Abi Syaibah).

Sementara, terkait ijma, para ulama menjelaskan akad hawalah sudah menjadi konsensus di kalangan para ulama. Di antara yang menjelaskan adalah, sebagai berikut.

  • Ibnu Mulaqqin (w. 804 H). Dalam kitabnya At-Taudhih Syarh Al-Jami’ Al-Shahih bahwa perkara hawalah sudah menjadi kesepakatan para ulama tentang kebolehannya.
  • Al-Mawwaq Abu Abdillah Al-Abdari (w. 898H). Dalam kitabnya At-Taj wal Iklil li Mukhtashar Khalil, beliau mengatakan, “Para ulama tidak berbeda pendapat (sepakat) tentang kebolehan akad hawalah”.
  • Al-Mawardi (w. 450 H). Dalam kitabnya Al-Hawi al-Kabir, beliau menjelaskan, “Dasar tentang kebolehan melakukan hawalah terdapat pada As-Sunnah dan Ijma.”
  • Imam Nawawi (w. 676 H). Dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin, beliau juga menegaskan bahwa hawalah merupakan perkara yang sudah disepakati tentang kebolehannya. “Pada asalnya hawalah itu sudah disepakati (kebolehannya).”
  • Ibnu Qudamah (w. 620 H). Dalam kitabnya Al-Mughni, beliau juga mengatakan “Secara umum, para ulama sepakat atas kebolehan untuk hawalah.”

"Adapun secara qiyasnya, maka akad hawalah ini bisa diqiyaskan pada akad kafalah, dimana masing-masing akad mempunyai illat yang sama, yaitu sama-sama mengalihkan urusannya kepada orang lain," kata Ustadz Syafri.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement