REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Direktur Komisi Urusan Etnis Regional di Xinjiang, China barat laut, Mehmut Usman, menampik laporan Kementerian Luar Negeri AS yang mengklaim sedang ada pembongkaran masjid di Xinjiang. Pejabat daerah otonomi Uighur Xinjiang itu menyebut klaim AS soal pembongkaran masjid tidak masuk akal.
Hal itu disampaikan Usman untuk menanggapi laporan 2019 tentang kebebasan beragama internasional yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri AS. Dalam jumpa pers, dia menuturkan, selama tempat-tempat untuk kegiatan keagamaan terdaftar di pemerintah, mereka punya status hukum alias legal.
Dengan demikian, semua hak dan kepentingan mereka dilindungi hukum. Usman juga menyebutkan, Masjid Jami dan Masjid Idkah, yang menurut laporan Departemen Luar Negeri AS telah dihancurkan, masih ada dan dilindungi dengan baik.
"Xinjiang selalu mementingkan perlindungan dan perbaikan masjid, dan pemerintah di semua tingkatan di Xinjiang tidak hanya membantu dan mendukung perbaikan masjid, tetapi juga menjamin kebutuhan agama yang normal dari para pemeluk agama," kata Usman dilansir dari laman China.org, Sabtu (18/7).
Menurut Usman, beberapa masjid di Xinjiang dibangun pada 1980-an dan 1990-an dan bahkan lebih lama lagi. Masjid tersebut memiliki fasilitas yang buruk dan potensi bahaya keselamatan. Kemudian, ada pembangunan konstruksi baru, pembangunan di situs asli pembongkaran, dan langkah ekspansi sesuai perencanaan pembangunan perkotaan-pedesaan.
"Kami telah memperbaiki kondisi masjid dan memenuhi kebutuhan umat beragama, yang disambut secara luas oleh tokoh agama dan penganut kepercayaan," katanya.
Abdukerim Mamut, yang bekerja untuk Masjid Jami di Kabupaten Yecheng Xinjiang, mengatakan Masjid Jami pada awalnya didirikan pada 1540 dan diperluas pada 1860. Masjid ini mengalami perbaikan masing-masing pada 1937, 2014, dan 2019.
"Mempertimbangkan sejarah panjang masjid, pemerintah mengkonsolidasikannya pada 2019 untuk menyediakan layanan yang lebih baik dan lebih aman bagi umat beragama," katanya.
Juru bicara kantor informasi pemerintah rakyat daerah, Elijan Anayit, mengatakan pada konferensi pers pemerintah tidak memiliki batasan pada adat-istiadat etnis dari upacara perkawinan dan pemakaman serta pemberian nama Islam. Menurut Anayit, di antara etnis minoritas yang memiliki kebiasaan penguburan, pemerintah tidak mempromosikan kremasi. Sebagai gantinya, dibutuhkan langkah-langkah khusus untuk melindungi adat mereka, seperti mengalokasikan tanah khusus untuk kuburan.
Adapun laporan AS yang mengklaim pemakaman Sulitan di Hotan dan pemakaman jalan Tazhong di Aksu telah dihancurkan, Anayit menyebut informasi itu bias. "Pemakaman-pemakaman itu belum dihancurkan, melainkan dilindungi dengan baik," ujarnya.