REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Anggota Senior di Gatestone Institue sekaligus anggota Shillman pada David Horowitz Freedom Center menggambarkan tentang kondisi rasisme yang terjadi di negara-negara Eropa oleh oknum imigran Muslim.
Dia menyebut adanya pandangan bahwa saat banyak ras yang berbenturan, maka yang minoritas-lah yang akan menjadi korban.
Baru-baru ini di Inggris, seorang politisi buruh dan anggota parlemen untuk Rotherham bernama Sarah Champion dituduh memicu kebencian rasial dan bertindak seperti pembunuh neo-fasis.
Dia berani menyatakan bahwa Inggris memiliki masalah dengan pria Pakistan Inggris yang memperkosa dan mengeksploitasi gadis kulit putih. Elemen yang sama menuduh Champion sebagai "pembunuh" dan menyebut program anti-ekstremisme Inggris, Prevent, dibangun di atas dasar Islamofobia dan rasisme.
Namun beberapa pekan sebelumnya, sebuah artikel berjudul "Saya diperkosa oleh geng penjagaan Rotherham, sekarang saya masih menghadapi pelecehan rasis online," muncul.
Di dalamnya, seorang wanita Inggris alias "Ella" mengungkapkan bahwa pemerkosa Muslimnya memanggil dirinya dengan sebutan yang tidak senonoh. Selama lebih dari 100 kali dia menyebut telah diperkosa di masa mudanya oleh gang Pakistan.
"Kita perlu memahami kejahatan yang diperburuk secara rasial dan agama jika kita ingin mencegahnya dan melindungi orang-orang dari kejahatan itu dan jika kita ingin menuntut secara benar untuk kejahatan itu," kata Ella dalam wawancara terbarunya.
Upaya pencegahan, perlindungan dan penuntutan itu terhalang karena telah mengabaikan cara penanganan dengan benar dari aspek-aspek religius dan rasisme.
Upaya Ella untuk menyoroti aspek religius dan rasis serta pelecehan serupa hanya menyebabkan banyaknya pelecehan dari ekstremis sayap kiri dan akademisi feminis radikal.
Kejadian itu tidak hanya terjadi di Inggris. Menurut laporan 9 Agustus 2019 lalu, di kota Uppsala di Swedia, ada empat perempuan diperkosa dalam beberapa hari.
Meski polisi gagal mengeluarkan deskripsi para pemerkosa, mereka mengeluarkan peringatan kepada kalangan perempuan untuk berpikir bagaimana seharusnya berperilaku dan tidak berjalan keluar sendirian.
Di Jerman, tujuh migran Muslim memperkosa seorang gadis remaja Jerman di sebuah taman, setelah membiusnya di sebuah disko di Freiburg.
Kepala polisi kemudian memperingatkan perempuan Jerman untuk tidak menggunakan alkohol atau narkoba. Nasihat tersebut akan lebih diterima jika itu tidak dilakukan di bawah tekanan.
Misalnya, setelah gerombolan migran Muslim melakukan kekerasan seksual sebanyak seribu wanita pada Malam Tahun Baru 2016 di Cologne, Jerman.
Wali Kota Cologne, Henriette Reker, meminta perempuan untuk lebih siap, terutama dengan karnaval Cologne yang akan datang.
Demikian pula, di Austria, setelah seorang wanita berusia 20 tahun yang menunggu di halte bus di Wina diserang, dipukuli, dan dirampok empat pria Muslim, termasuk seseorang yang memulai dengan meletakkan tangannya di rambut.
Karena itu, seorang profesor antropologi sosial wanita Universitas Oslo di Norwegia, Unni Wikan, meyakini perempuan Norwegia harus mengambil langkah tanggung jawab mereka atas perkosaan ini, sebab pria Muslim menggunakan cara berpakaian yang provokatif.
Begitu banyak klaim feminis bahwa wanita bebas untuk berpakaian dan berperilaku serampangan serta provokatif seperti yang mereka inginkan.
Dalam kondisi ini, celakalah bagi pria yang salah mengartikan sikap kelompok feminis tersebut kecuali jika dia berasal dari kelompok minoritas ras atau agama.
Kesimpulan Profesor Wikan bukanlah bahwa pria Muslim yang tinggal di Barat perlu menyesuaikan diri dengan norma-norma Barat. Sebaliknya, perempuan Norwegia pun harus menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat multikultural dan harus menyesuaikannya.
Sumber: http://www.frontpagemag.com/fpm/2020/07/latest-racists-white-rape-victims-muslims-raymond-ibrahim/