REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG – Penyair dan cerpenis nasional yang tinggal di Bandarlampung, Isbedy Stiawan ZS punya kesan mendalam terhadap sastrawan Indonesia, Sapardi Djoko Damono, yang dikabarkan wafat hari ini.
“Sapardi Djoko Damono (SDD) adalah pribadi yang sederhana dan familiar. Ia tak memosisikan dirinya senior di hadapan sastrawan yang jauh usia dan jam terbang kepenyairannya,” kata Isbedy dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Isbedy mengaku pernah berada dalam satu acara seminar di FKIP Universitas Lampung, dua tahun lalu. “Dan ia tetap mau mendengar nara sumber lain. Bahkan, ia segera akrab saat kita kenalkan diri, dan ia sambut: ‘O ya Is, saya tahu dengan Anda, juga baca puisi-puisi anda’,” ujarnya.
Menurut Isbedy, bahasa puisi Sapardi sederhana, namun menyimpan makna amat dalam. “Kesederhanaan itu, juga seperti bahasa dalam puisi-puisinya. Tetapi tersimpan makna yang amat dalam,” tuturnya.
Isbedy mengungkapkan, ketika mendapat kabar SDD meninggal dunia, selain kebaikan-kebaikannya yang terkenang, juga sejumlah puisinya seperti Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, dan Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana. “Juga, puisi yang sangat menyentuh karena fururistik, menurut saya adalah Pada Suatu Hari Nanti,” paparnya.
Pada Suatu Hari Nanti
Sapardi Djoko Damono
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
Sastrawan Indonesia, Prof Sapardi Djoko Damono dikabarkan meninggal dunia, Ahad (19/7) pukul 09.17 WIB. Sapardi meninggal dunia di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 itu meninggalkan setumpuk karya, dari mulai sajak, puisi, hingga novel.