REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepergian sastrawan Sapardi Djoko Damono meninggalkan kedukaan sekaligus kenangan mendalam bagi orang di sekitarnya maupun pecinta karya-karyanya. Sastrawan Maman S Mahayana merupakan salah satu orang yang sangat kehilangan atas kepergian Sapardi.
Menurut Maman, Sapardi adalah sosok yang sederhana dan rendah hati. Kerendahan hati Sapardi mengingatkan dirinya pada suatu Magrib, ketika kegiatan seminar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI). Kala itu Maman dan Sapardi hendak menunaikan Sholat Magrib berjamaah.
"Sapardi mempersilakan saya menjadi imam. Tentu saja saya menolak. Tetapi dia bilang, 'Silakan Pak Maman jadi imam. Anda kan lebih Islam dari saya'. Begitulah dia sangat rendah hati," ujar Maman saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (19/7).
Keduanya akhirnya mereka sholat berjamaah. Maman menjadi imam sholat dan Sapardi makmum. "Dan ketika sujud, saya menangis. Luar biasa orang ini. Orang hebat yang rendah hati. Sampai sekarang saya masih belajar untuk meneladaninya," kata Maman.
Sapardi meninggal dunia pada Ahad (19/7) setelah dirawat di rumah sakit sejak Kamis karena menurunnya fungsi organ tubuh. Sapardi akan dimakamkan sore ini di Taman Pemakaman Giri Tama, Giri Tonjong, Kabupaten Bogor.
Sapardi merupakan sastrawan Indonesia yang aktif sejak tahun 1950-an hingga kini. Tak hanya menulis sajak dan puisi, pria yang lahir pada 20 Maret 1940 itu juga memiliki karya tulis lain berupa esai dan cerita pendek.
Sejumlah puisi karya Sapardi mulai diapresiasi dan diangkat ke bentuk seni lainnya seperti dimusikalisasi. Sapardi telah menulis puluhan buku dan karya tulis. "Hujan Bulan Juni" (1994) adalah salah satu karyanya yang paling terkenal.