REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sastrawan Sapardi Djoko Damono, di mata Aguk Irawan, tidak hanya femonenal, tapi juga religius. "Almarhum Sapardi menurut saya, lebih dari seorang penyair yang fenomenal, dengan bahasanya yang sederhana, tetapi begitu estetis,” kata Aguk Irawan mengomentari sosok Sapardi Djoko Damono yang wafat pagi ini, Ahad (19/7).
Ia menambahkan, “Lebih dari seorang guru besar sastra dan segudang teori kritik sastranya. Tapi dari muda hingga usia senja, almarhum istiqomah sebagai penghayat kehidupan yang religius. Ia tulis renungan-renungan religiusnya itu dalam puisi. Itu kenapa puisi-puisinya terasa sangat dekat dengan kita,”
Dosen seni dan budaya Stipram Yogyakarta itu mengutip puisi Sapardi yang paradoksal tetapi sarat makna, ketika ia menulis puisi berjudul "Yang fana adalah waktu. Kita abadi". “Puisi ini mengingatkan saya kepada perkataan Sayyidina Ali Ra, "’'adhamu naiimi lilabdin lahu ikhrajun minal adam ilal wujudi... (nikmat terbesar kita adalah dijadikan manusia dari ketiadaan, lalu menjadi abadi kebaikan atau keburukannya),” ujar Aguk Irawan kepada Republika.co.id.
Sastrawan Indonesia, Prof Sapardi Djoko Damono meninggal dunia, Ahad (19/7) pukul 09.17 WIB. Sapardi meninggal dunia di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 itu meninggalkan setumpuk karya, dari mulai sajak, puisi, hingga novel.