REPUBLIKA.CO.ID, Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini menjadi sangat relevan saat melihat kondisi masyarakat menengah bawah di tengah pandemi Covid-19 yang semakin menjadi. Begitu pula yang dialami Abah Hendar, penjaga palang pintu perlintasan kereta api Bulak Kapal.
Sudah lima bulan sejak World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, ia mengaku semakin kesulitan mencari penghasilan. Hendar mengaku telah menjadi penjaga perlintasan kereta api sebidang di Bulak Kapal sejak tahun 1990. Saat itu, hanya ada kereta api jarak jauh saja yang melintas.
Baru sekitar tiga tahunan ada commuterline yang melewati perlintasan yang ia jaga itu. Pria kelahiran 65 ini menuturkan sejak adanya pandemi, lalu lalang kendaraan uang melintas berkurang.
Hal ini berdampak ke penghasilannya yang ia dapat secara harian. "Waktu awal-awal corona, saya seharian tuh bisa bawa pulang uang cuma Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu," kata Hendar ditemui Republika, Ahad (19/7).
"Buat beli beras satu liter saja sudah habis. Enggak bisa beli lauk," tambahnya.
Namun, apa mau dikata, ia tetap harus mencari uang demi menafkahi keluarga. Rambutnya sudah mulai beruban dimakan usia. Sehari-hari ia mengenakan topi anyam petani yang bertuliskan relawan palang pintu Abah Hendar.
Kulit aslinya kuning langsat namun kemerahan karena terbakar sinar matahari. Bapak tiga anak ini mengaku telah menjaga perlintasan kereta kurang lebih 15 tahun. Sudah tak terhitung berapa kali ia menyaksikan banyaknya orang-orang yang tertabrak kereta akibat nekat menerobos perlintasan.
"Awal-awal saya ngojek. Lalu jaga palang pintu. Ini perlintasan kalau tidak ada yang jaga berbahaya sekali," ujar dia.
Hendar mengaku dulunya pernah tinggal di Bandung. Ia juga sempat kuliah di Universitas Pasundan pada tahun 1985. Namun hanya bertahan satu semester saja lantaran memutuskan menikahi sang istri.
Anak pertama dan keduanya, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan telah menikah. Sedangkan anak bungsu laki-lakinya baru berusia 5 tahun. Ia masih getol bekerja untuk menghidupi istri dan anak bungsunya. Padahal seharusnya Haedar telah masuk usia pensiun.
Matahari berada di atas kepala. Hendar kebagian jaga palang jam 12 siang. Karena usianya yang sudah tua, Hendar memilih untuk jaga palang di siang hari. Sementara pada petang hingga malam giliran rekannya yang lebih muda yang kebagian menjaga.
Diakui Hendar, di tengah kondisi pandemi ia baru menerima bantuan sosial satu kali. "Kemarin pernah dikasih beras 5 kilogram dan sarden, sekali doang," tuturnya.
Perlintasan kereta api di simpang Bulak Kapal ini memang tidak ada palangnya. Amat berbahaya apabila tidak dijaga oleh petugas. Hanya Abah Hendar dan teman-temannya yang secara inisiatif menjaga perlintasan itu selama 24 jam secara bergantian. Dari situlah mereka mendapat penghasilan buat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebagai pekerja di sektor informal, akhir-akhir ini Abah Hendar kerap mengeluh, sebab penghasilannya yang tak seberapa itu terus tergerus oleh harga bahan pokok yang semakin tinggi.
"Dulu sebelum Corona bisa dapat Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Sekarang mah walaupun sudah ramai lagi, duit segitu juga dapat apa," terangnya sembari menghisap rokok dari mulutnya.
Pada 2018 lalu, ia bercerita pernah ditawarkan oleh pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk menjadi petugas resmi. Namun, ia keberatan harus mengikuti pelatihan selama satu bulan.
"Dulu pernah ada tawaran buat jadi pegawai KAI, tapi pelatihan dulu sebulan. Jaraknya jauh, dan enggak digaji dulu. Ya duit darimana. Jadi akhirnya pada enggak mau," ujarnya.