Oleh Shelbi Asrianti
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Almarhum sastrawan Sapardi Djoko Damono menciptakan sajak 'Hujan Bulan Juni' pada 1989 silam, yang termuat di sebuah koran. Sajak pun tercantum dalam buku kumpulan sajak Sapardi terbitan 1994, yang terus dicetak ulang sampai sekarang.
Kala itu, tajuk tersebut memuat kontradiksi karena bulan Juni bukan masa lazim untuk turunnya hujan. Betapa tidak, Juni adalah kurun kemarau di bumi pertiwi. Sapardi mengaku sengaja menggagas sajak yang berlawanan dengan kalender musim.
"Justru karena Juni tidak hujan, kalau ada hujan kan istimewa," ungkap Sapardi dalam wawancara khusus dengan Republika.co.id 2015 silam.
Dia berkata, meski kemarau sedang panas-panasnya, selalu dijumpainya sekali dua kali hujan turun di bulan Juni. Orang Jawa menyebut fenomena itu sebagai hujan kiriman atau udan kiriman.
Pria kelahiran Surakarta itu memaknainya sebagai perlambang kasih sayang hujan kepada pohon. Dalam benak Sapardi, hujan yang turun pada bulan Juni sungguh tabah, bijak, dan arif, karena mengetahui kerinduan yang dirasakan pohon.
Hujan pun sesungguhnya menyimpan kangen dan ingin jatuh. Ada sebuah hubungan timbal-balik antara hujan dan pohon. Kendati demikian, Sapardi membebaskan penikmat sajaknya untuk membuat interpretasi apa saja.
Pembebasan tafsir itu juga dia lakoni, dengan mengembangkan sajak 'Hujan Bulan Juni' ke dalam bentuk novel. Alur cerita dalam novel berakar dari isi sajak. Bedanya, hujan dan pohon dia konversikan dalam wujud tokoh laki-laki dan perempuan.
Keduanya menjelma sosok Sarwono dan Pingkan. Sarwono adalah pria Jawa, dosen muda, dan peneliti yang sederhana. Sementara, Pingkan adalah gadis campuran Jawa-Manado, juga merupakan dosen muda di kampus yang sama.
Novel yang mengisahkan dinamika romansa Pingkan dan Sarwono itupun sudah dialihwahanakan menjadi film layar lebar pada 2017. Sebagai pemilik karya, Sapardi dengan rendah hati memberi kebebasan penuh kepada tim produksi melakukan penafsiran.
Dalam film, tokoh Pingkan dan Sarwono diperankan oleh aktris Velove Vexia dan Adipati Dolken. Kedua karakter diceritakan berasal dari etnis berbeda sekaligus memiliki keyakinan berlainan, tetapi dipersatukan oleh kasih sayang.
Film drama romantis berdurasi 96 menit tersebut memang tidak sama persis dengan novelnya. Sutradara Reni Nurcahyo Hestu Saputra dan penulis skenario Titien Wattimena melakukan sejumlah penyesuaian untuk mendukung kepentingan visual.
Sapardi beranggapan film Hujan Bulan Juni bukanlah miliknya, tetapi milik para sineas yang berkreasi. Film layar lebar Hujan Bulan Juni diproduksi oleh Sinema Imaji dan Starvision.
"Ketika sebuah karya diubah ke wahana lain, pasti harus berubah menyesuaikan media baru tersebut," kata pensiunan Guru Besar Universitas Indonesia itu.
Sapardi menukas, mayoritas karya yang dia buat bersifat umum, terbuka, dan bisa diartikan macam-macam. Guru besar tetap di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta itu merasa tugasnya hanya melukis dengan kata-kata.
Pembaca boleh-boleh saja melakukan pemaknaan apapun sesuai keinginan masing-masing. Sapardi yang meraih Penghargaan untuk Pencapaian Seumur Hidup dalam Sastra dan Pemikiran Budaya dari Akademi Jakarta tahun 2012 itu juga punya proses kreatif unik.
Dia menikmati berkarya secara mengalir, lalu kerap terkejut dengan hasil akhir yang dibuatnya. Seolah-olah, tokoh rekaannya turut berpartisipasi membuat jalan cerita. Sapardi menganggap mereka berhak hidup dan membuat ceritanya sendiri.
Penafsiran sebuah sajak menjadi novel dan berlanjut dengan film, juga menjadi wadah baru tempat hidupnya karya Sapardi. Karya almarhum akan terus bertahan, hingga disimak generasi selanjutnya. Seperti ujaran Sarwono di salah satu dialog dalam film, "Puisiku punya dunianya sendiri, Pingkan."