REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan utang perusahaan di masa krisis Covid-19 merupakan hal yang wajar. Selama pandemi berlangsung, perusahaan mengalami sejumlah kendala mulai dari tekanan arus kas perusahaan, terganggunya penerimaan usaha serta sulitnya mendapatkan pendanaan.
Wakil Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Shinta W Khamdani mengatakan, keseluruhan faktor ini menyebabkan peningkatan kebutuhan perolehan utang di sektor swasta. "Stimulus pemerintah juga terbatas dalam membantu pelaku usaha nasional untuk terus beroperasi, sehingga pelaku usaha harus mencari sumber dana lain," kata Shinta, Ahad (19/7).
Pada dasarnya, menurut Shinta, sumber pendanaan melalui pinjaman tidak harus dari luar negeri tetapi juga bisa dari dalam negeri. Namun, dalam kondisi saat ini pasar keuangan nasional sudah jenuh dengan peminjam sehingga biaya pinjaman cenderung lebih tinggi.
Di sisi lain, lanjut Shinta, perbankan nasional memiliki kapabilitas likuiditas yang terbatas. Perbankan nasional lebih diarahkan untuk memberikan pinjaman kepada UMKM atau sektor usaha tertentu sesuai program stimulus pemerintah.
Sementara itu, pelaku usaha yang tidak memperoleh pinjaman cukup secara nominal atau kompetitif dari segi biaya pinjaman cenderung memilih untuk meminjam dari sumber-sumber pinjaman asing. Hal inilah yang menyebabkan utang luar negeri swasta meningkat.
Shinta melihat, ke depannya kemampuan bayar perusahaan akan sangat tergantung pada perbaikan kondisi ekonomi nasional, khususnya peningkatan konsumsi masyarakat dan perbaikan iklim usaha dan investasi nasional. Bila konsumsi masyarakat membaik, tekanan pada arus kas perusahaan bisa turun dan penerimaan perusahaan bisa lebih lancar sehingga kemampuan bayar perusahaan menjadi lebih tinggi.
Di sisi lain, perbaikan iklim usaha dan investasi juga diperlukan agar peningkatan utang swasta dari luar negeri tidak meningkat secara eksponensial. Shinta berharap terjadi peningkatan di sisi investasi langsung sehingga pelaku usaha nasional tidak perlu terus menerus mencari utang luar negeri.
"Kalau kedua hal ini tidak terjadi, kemungkinan besar peningkatan utang luar negeri akan terus meningkat hingga mencapai level yg mengancam stabilitas makro ekonomi nasional," kata Shinta.