REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Eva Yuliana mengatakan, pencopotan oknum polisi yang terlibat dalam pelarian buron kelas kakap, Djoko Tjandra bukan antiklimaks dalam kasus tersebut. Namun, dia berharap, dituntaskan sampai ke akar-akarnya dalam pemeriksaanya.
"Jadi memang ini butuh adanya sistem yang terintegrasi antara penegakan hukum di kepolisian dan di Kemendagri," tegas politikus Partai Nasdem saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (19/7)
Selain itu, Eva juga meminta Polri dan Kejagung bersinergi untuk bisa segera menangkap Djoko Tjandra. Salah satunya dengan membentuk tim khusus. Apalagi karena ulah Djoko Tjandra, wajah hukum di Indonesia tercoreng. Maka, dia mendorong, komisi III DPR RI untuk segera mengadakan rapat gabungan antara kejagung, polri, dan Kemenkumham RI agar bisa memastikan lembaga penegak hukum dapat bersinergi.
“Kami dari Fraksi Nasdem akan mendorong diadakannya rapat gabungan penegak hukum, agar kasus ini bisa segera terselesaikan,” tuturnya.
Kendati demikian, Eva juga mengapresiasi, gerak cepat kapolri dalam menangani permasalahan surat jalan yang diterbitkan oleh oknum di bareskrim polri. Djoko Tjandra diduga masuk dan keluar Indonesia tanpa melalui jalur resmi. Sebab, hingga saat ini, Ditjen Imigrasi mengatakan bahwa tidak ada data perlintasan atas nama Djoko Tjandra.
Sebelumnya Djoko Tjandra merupakan BLBI yang juga terpidana kasus cessie Bank Bali sebesar Rp 546 miliar masuk dalam daftar buronan interpol sejak 2009. Kepala tim pemburu koruptor yang dijabat oleh Wakil Jaksa Agung, Darnomo, menyebutkan bahwa warga Indonesia itu resmi jadi warga Papua Nugini sejak Juni 2012.
Sejak 2009, dia meninggalkan Indonesia. Saat itu sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan atas perkaranya, Djoko berhasil terbang ke PNG dengan pesawat carteran. Di sana Djoko mengubah indentitasnya dengan nama Joe Chan dan memilih berganti kewarganegaraan menjadi penduduk Papua Nugini (PNG).