REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kemampuan pemerintah dalam mitigasi bencana wabah seperti Covid-19 terus memperoleh kritik dari berbagai kalangan. Padahal Indonesia punya pengalaman menghadapi wabah di masa lalu.
Indonesia terutama masyarakat Kota Malang, pernah mengalami wabah pes di 1911. Selama beberapa tahun, wabah yang disebabkan tikus ini telah membunuh puluhan ribu warga. Sejumlah upaya dilakukan dalam menekan angka infeksi dan kematian seperti isolasi wilayah, penyemprotan disinfektan, pengosongan desa, penangkapan tikus dan sebagainya.
Peneliti Sejarah Wabah, Syefri Lewis mengatakan, pandemi influenza juga sempat muncul di Indonesia (dulu Hindia Belanda) sekitar 1918. Virus yang menyebar ke berbagai daerah itu telah menyebabkan jutaan manusia meninggal. Meski tidak sempurna, Pemerintah Kolonial Belanda telah melaksanakan sejumlah cara penanggulangan. Salah satunya, sosialisasi di buku yang penggunaan bahasanya dikritisi karena tidak semua masyarakat bisa membaca kala itu.
Dosen Universitas Wishnuwardhana (Unidha) Kota Malang, Heni Masruroh mengatakan, pengalaman bencana wabah seharusnya bisa menjadi cermin untuk mengatasi pandemi Covid-19. Jangka panjangnya, pemerintah bisa merancang mitigasi wabah di era kini untuk antisipasi di masa depan.
"Dulu sudah ada isolasi mandiri sama persis dengan saat ini," kata Heni dalam kegiatan diskusi daring yang dilaksanakan heuristik.id belum lama ini.
Kemampuan mitigasi wabah yang dilakukan pemerintah pada dasarnya sudah cukup baik. Secara teori, pemerintah sudah melaksanakan fase pencegahan, fase deteksi dan fase respon. Meski demikian, Heni menilai Indonesia belum mampu belajar dari wabah pes maupun Influenza di masa lampau. Apalagi jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah.
"Lalu mengapa sampai saat ini kita masih banyak positif Covid-19? Apa yang perlu diperbaiki?" jelas perempuan lulusan magister Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut.
Heni mengungkapkan, pemerintah perlu menyusun dokumen mitigasi bencana non-alam atau wabah. Itu berarti Indonesia harus membuat peta kerawanan wabah yang belum dimiliki, termasuk pandemi Covid-19.
"Kenapa belum ada? Manajemen bencana meneliti berdasarkan studi kasus dan itu jarang terjadi sehingga susah (untuk diteliti)," katanya.
Heni tak menampik pemerintah sudah mengeluarkan peta Covid-19 dengan rincian zona merah, oranye, kuning dan hijau. Namun, peta tersebut dibuat berdasarkan jumlah kasus positif bukan aspek lain. Padahal penyusunan peta perlu dikaitkan dengan aspek lingkungan, fisik dan sebagainya.
"Dan ketika ada peta kerawanan wabah, maka kita bisa aware, hati-hati sehingga bisa bersikap untuk memitigasi diri sendiri," ucap alumnus S1 Universitas Negeri Malang (UM) tersebut.
Strategi mitigasi bencana pada dasarnya terbagi atas struktural dan nonstruktural. Sementara untuk bencana wabah lebih menekankan pada mitigasi non-struktural. Dengan kata lain, Indonesia harus menemukan cara bagaimana menyadarkan masyarakat atau manusianya tentang bahaya Covid-19.
Selain itu, Indonesia juga perlu melaksanakan rencana kontijensi dalam menyikapi Covid-19. Kontinjensi sendiri merupakan sebuah keadaan yang tidak pasti dalam kajian bencana. Terlepas dari ketidakpastian tersebut, negara perlu menyiapkan seperangkat rencana dalam memitigasi bencana wabah.
Heni berpendapat, Indonesia saat ini belum memiliki rencana kontinjensi wabah terutama Covid-19. Situasi tersebut bisa mengakibatkan kebingungan di masyarakat dalam menangani Covid-19.
"Enggak ada dokumen kontingensi wilayah, kalau ada kan enak. Misal, 'oh di sini tempat untuk isolasi mandiri, peta penyembuhan'. Ke depan, ini harus dimiliki per wilayah," ungkap dia.
Selanjutnya, Heni juga mengkritisi tidak tercantumnya kajian kebencanaan di kurikulum sekolah. Padahal manajeman kebencanaan di tingkat sekolah penting diketahui sebagai cara antisipasi.