REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Pemerintah sepakat mengubah pembahasan Rancangan Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Kendati demikian, masyarakat diharapkan untuk tidak lengah dan tetap mengkritisi RUU yang memunculkan kegaduhan di tengah pandemi Covid-19.
“Kita semua harus terus kawal dan kritisi. Pertanyaan awal yang perlu kita ajukan adalah apakah perlu badan seperti BPIP diatur khusus dalam sebuah undang-undang? Jika hanya soal tupoksi bukannya sudah diatur dalam perpres (Perpres No.7/2018 tentang BPIP)?” ujar Fahira dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/7).
Menurut Fahira, pembahasan sebuah UU selain memerlukan energi dan waktu yang panjang juga menghabiskan anggaran. Itulah kenapa parameter utama lahirnya dan pembahasan sebuah RUU adalah sejauh mana RUU tersebut dibutuhkan oleh rakyat.
Kata Fahira, jika sebuah persoalan, isu, ataupun pengaturan sebuah badan lembaga negara tidak langsung menyentuh hajat hidup orang banyak, maka payung hukumnya cukup peraturan di bawah undang-undang.
"Makanya, harus dikonkretkan dulu sejauh mana strategisnya BPIP terhadap hajat hidup orang banyak sehingga dia harus diatur dalam sebuah UU. Sejauh mana urgensi lembaga ini sama atau setara dengan KPK atau MK yang memang dipayungi UU Khusus," ucap senator DKI Jakarta.
Dikatakan Fahira, jika publik tidak mendapatkan penjelasan yang rasional dan konkret, maka penolakan pasti akan terjadi lagi. Kemudian jika pun nanti RUU BPIP ini tetap akan dibahas, maka hal yang harus dikedepankan Pemerintah dan DPR RI adalah keterbukaan dalam proses pembahasannya.
Dari keterbukaan dan partisipasi publik ini, maka akan diketahui apakah lembaga BPIP memang harus diatur dalam sebuah UU khusus. Atau cukup hanya diatur oleh peraturan lain di bawah UU.
“Beri ruang seluas-luasnya kepada publik untuk mengkritisi RUU ini. Biar terjadi diskursus yang sehat dalam wacana publik. Dari sini kita bisa tahu layak tidak RUU ini masuk dalam prolegnas dan dibahas di parlemen,” ucap Wakil Ketua Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP MPR) RI tersebut.