Senin 20 Jul 2020 16:00 WIB

Malaysia Temukan Kiriman Limbah Beracun Terbesar

Sebanyak 110 kontainer limbah beracun dibuang secara ilegal di Malaysia

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Limbah beracun ilegal, ilustrasi
Foto: pdk.or.id
Limbah beracun ilegal, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pihak berwenang Malaysia menemukan 110 kontainer limbah beracun yang dibuang secara ilegal. Pihak berwenang menyebut temuan itu merupakan temuan terbesar dari jenisnya dalam sejarah negara.

Media negara, Bernama dalam laporan Ahad (19/7) yang dilansir laman CNN mengatakan, kontainer-kontainer tersebut dibuang bulan lalu di Pelabuhan Tanjung Pelepas, di negara bagian Johor. Di dalamnya terdapat 1.864 ton debu tungku busur listrik (EAFD), yang merupakan produk sampingan berbahaya dari produksi baja yang mengandung unsur-unsur beracun seperti timah dan kromium.

Baca Juga

Para pejabat mengatakan, limbah beracun itu dibawa ke Malaysia dari Rumania dan secara salah dinyatakan sebagai seng terkonsentrasi. "Penemuan EAFD, saat transit di Malaysia dan menuju Indonesia, adalah temuan terbesar dari jenisnya dalam sejarah Malaysia," kata Menteri Lingkungan dan Air Tuan Ibrahim Tuan Man dalam laporan Bernama dikutip laman CNN, Senin (20/7).

Malaysia mengirim limbah kembali ke Rumania dan meminta Interpol untuk menyelidiki. Sejak China melarang impor limbah plastik pada 2018 dalam upaya untuk membersihkan lingkungannya, banyak negara telah mencari tempat pembuangan alternatif untuk sampah mereka yang malah menciptakan masalah bagi negara-negara termasuk Kamboja, Malaysia, dan Filipina.

Untuk membatasi pembuangan yang tidak bertanggung jawab, tahun lalu, 187 negara menambahkan plastik ke Konvensi Basel, sebuah perjanjian yang mengatur perpindahan material berbahaya dari satu negara ke negara lain. Tetapi masalahnya terus berlanjut.

EAFD, pengiriman ilegal yang ditemukan di Malaysia, diklasifikasikan sebagai limbah beracun berdasarkan Konvensi Basel, di mana Malaysia merupakan penandatangannya. Hanya AS, salah satu produsen plastik terbesar di dunia, dan Haiti yang belum meratifikasi perjanjian tersebut.

Krisis pembuangan limbah telah menarik perhatian global yang lebih besar dalam beberapa tahun terakhir, karena negara-negara seperti Malaysia dan Filipina telah mulai memberi nama dan mempermalukan eksportir limbah dan mengirimkan sampah yang dibuang ke pelabuhan asal mereka. Mei lalu, Malaysia mengirim kembali 450 ton limbah plastik ke negara asal, termasuk Inggris, Kanada, AS, Jepang, dan Belanda.

"Kami mendesak negara-negara maju untuk meninjau kembali pengelolaan limbah plastik mereka dan menghentikan pengiriman sampah ke negara-negara berkembang," kata Yeo Bee Yin, menteri energi, sains, teknologi, lingkungan, dan perubahan iklim Malaysia saat itu.

Namun demikian, masalah tetap ada. Pihak berwenang Malaysia telah mengidentifikasi dan menghentikan setidaknya 28 upaya untuk mengimpor limbah secara ilegal tahun ini. Pembuangan limbah bahkan meningkat menjadi bentrokan diplomatik yang dipublikasikan.

Tahun lalu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memanggil duta besarnya ke Ottawa setelah Kanada melewatkan tenggat waktu untuk mengambil kembali beberapa ton sampahnya. Pemerintah Kanada akhirnya memulangkan sampah mereka setelah Duterte mengatakan dia siap untuk "menyatakan perang" atas masalah ini.

Banyak dari pemerintah ini, serta organisasi nirlaba dan lingkungan, memuji amandemen Konvensi Basel 2019 sebagai langkah ke arah yang benar. Itu secara khusus membahas masalah sampah plastik, masalah besar bagi para ahli kesehatan dan lingkungan.

Sebagian besar jenis plastik tidak dapat terurai secara hayati, dan sangat tahan lama. Itu berarti produk plastik yang dibuat hari ini mungkin akan bertahan selama berabad-abad, jika tidak ribuan tahun. Seiring waktu, beberapa produk rusak dan menambah koleksi besar plastik mikro di laut, udara, dan makanan manusia.

Amandemen baru terhadap Konvensi Basel, yang akan mulai berlaku pada  2021, hanya akan memungkinkan polimer nonhalogenasi yang bersih, homogen, dan siap didaur ulang untuk diperdagangkan secara bebas secara global.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement