REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengikuti secara daring penyampaian laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat (LHP LKPP) 2019 yang dilakukan di Istana Negara.
Dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin, Abdul Halim Iskandar yang biasa disapa Gus Menteri disebutkan mengikuti penyampaian LHP LKPP 2019 tersebut bersama Wakil Menteri Budi Arie Setiadi, Sekjen Anwar Sanusi dan Inspektur Jenderal Ansar Husen, secara virtual dari Kalibata.
Ia menyimak pemaparan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna dan arahan Presiden Joko Widodo yang menegaskan setiap rupiah uang rakyat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus bisa dipertanggungjawabkan pengelolaannya.
Presiden juga menegaskan kas keuangan negara harus digunakan secara bertanggung jawab dan dikelola secara transparan. "Tata kelolanya harus baik, manajemennya harus baik, sasarannya harus tepat dan dijalankan dengan prosedur yang sederhana dan ringkas, melalui proses yang cepat dengan manfaat yang maksimal untuk rakyat," katanya.
BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKPP 2019. Kendati demikian, mereka tetap menemukan adanya permasalahan terkait kelemahan sistem pengendalian internal dan kepatuhan.
LKPP audit tahun 2019 mengonsolidasikan 87 laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL), dan satu laporan keuangan bendahara umum negara (LKBUN). Atas 88 laporan keuangan tersebut, BPK memberikan opini WTP terhadap 84 LKKL dan satu LKBUN atau 96,5 persen wajar dengan pengecualian terhadap dua LKKL atau 2,3 persen dan tidak menyatakan pendapat pada satu LKKL atau 1,2 persen.
Dalam laporan tersebut, BPK memaparkan realisasi asumsi makro APBN 2019, yakni inflasi 2,72 persen yang lebih rendah dari asumsi APBN 3,5 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp14.146 dari asumsi APBN sebesar Rp15.000.
Kendati demikian, beberapa indikator ekonomi makro capaiannya di bawah asumsi penyusunan APBN 2019, yaitu pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02 persen dari asumsi APBN sebesar 5,30 persen, tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan sebesar 5,62 persen dari asumsi APBN sebesar 5,30 persen, lifting minyak hanya mencapai 746 ribu barel per hari dari asumsi APBN sebanyak 775 ribu barel per hari, dan lifting gas hanya mencapai 1.057 ribu barel per hari dari asumsi APBN sebesar 1.250 ribu barel per hari.
Realisasi rasio defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Tahun 2019 adalah 2,20 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan target awal yang telah ditetapkan dalam UU APBN Tahun 2019 sebesar 1,84 persen. Selain itu, posisi rasio utang pemerintah terhadap PDB pada 2019 mencapai 30,23 persen atau meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir 2018 sebesar 29,81 persen.
Adapun nilai pokok atas utang pemerintah pada tahun 2019 mencapai sebesar Rp4.786 triliun, 58 persen adalah utang luar negeri Rp2.783 triliun dan 42 persen adalah utang dalam negeri senilai Rp2.002 triliun.
Pemerintah telah menyediakan anggaran bidang pendidikan dan kesehatan dalam APBN Tahun 2019 yang merupakan belanja atau pengeluaran negara yang bersifat mandatory spending.
Total anggaran bidang pendidikan dalam APBN 2019 adalah Rp492,45 triliun, atau mencapai 20,01 persen dari anggaran belanja negara sehingga telah memenuhi ketentuan ayat (4) Pasal 31 UUD 1945.
Realisasi anggaran bidang pendidikan Tahun 2019 mencapai Rp460,34 triliun atau 93,48 persen dari yang dianggarkan di APBN. Selain itu, total anggaran bidang kesehatan dalam APBN 2019 adalah Rp 123,11 triliun atau mencapai 5 persen dari anggaran belanja negara, sehingga telah memenuhi ketentuan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan realisasi sebesar Rp102,28 triliun atau 83,08 persen dari yang dianggarkan di APBN. Namun demikian, Pandemi COVID-19 tidak berdampak pada LKPP Tahun 2019.
Dampak pandemi COVID-19 akan disajikan pada LKPP Tahun 2020, antara lain berupa realokasi dan refocussing anggaran untuk mendukung penanganan pandemi COVID19, serta potensi penurunan PNBP, penurunan kualitas piutang dan penundaan kegiatan/konstruksi dalam pengerjaan.