REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ihza Aulia Sururi Tanjung
Dalam benak kebanyakan orang, gulung tikar (bangkrut) sering dimaknai dengan kepailitan material atau harta saat berbisnis. Hal tersebut bisa disebabkan anjloknya harga mata uang di pasar, turunnya rate saham, bahkan terbatasnya perusahaan untuk berniaga. Apalagi kondisi pandemi seperti sekarang ini, telah menimbulkan kerugian yang besar. Banyak pengusaha yang sampai merumahkan atau melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerjanya, sampai menjual aset perusahaan.
Pada hakikatnya, kondisi tersebut hanya bersifat temporary atau sementara. Mungkin saja dalam karun waktu tidak terlalu lama, seseorang atau sebuah perusahaan bisa bangkit dari keterpurukannya. Berapa banyak orang yang bangkrut atau gagal dalam berbisnis, setelah 2-3 tahun berusaha sekuat tenaga dan pikiran, dapat kembali menaikkan kondisi ekonomi, bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Kenyataannya, tidak sedikit miliarder yang tutup usia tetap memiliki kekayaan yang melimpah. Namun, ada pula yang meninggalkan tumpukan utang dan kerugian di penghujung hidupnya. Keduanya berhenti ketika ajal menjemput. Tagihan perusahaan tidak berlanjut sampai ke alam kubur dan profit saham tidak pula memberikan keistimewaan dalam kuburan.
Lantas, bagaimana cara memaknai “gulung tikar” yang sebetulnya ? Dalam Al-Minhaj Syarh Shahih muslim, Imam An-Nawawi menguraikan kata muflis (orang yang bangkrut) dalam hadis Nabi SAW (No. 2581). Kebangkrutan yang sesungguhnya bukan dalam kehidupan dunia. Akan tetapi ada setelah kehidupan di dunia ini berakhir.
Rasul SAW. mengabarkan kepada kita bahwa kelak nanti di akhirat ada orang yang rajin shalat, puasa, sedekah, membaca Alquran, membawa segudang amal saleh dan pahala, tetapi tak disangka menyimpan hamparan “utang” disebabkan cacian, tuduhan, korupsi, tipuan kepada orang yang telah dizaliminya. Maka habislah semua amalnya, dan hanya tersisa dosanya. Bahkan ditumpuk lagi dengan dosa orang yang telah dizalimi karena ia tidak sanggup menggantinya. Lalu dicampakkanlah ia ke neraka.
Hadits ini merefleksikan bahwa tidak selamanya orang yang rajin ibadah, puasa, sedekah, hafal Quran 30 juz dan ribuan hadis, akan terbebas dari dusta, zalim, korupsi dan kemungkaran lain. Dalam buku Menggapai Kesalehan Sosial, Dr Hasan Basri Tanjung MA meresapi makna hadits di atas, bahwa Rasul SAW hendak mengajarkan kepada kita akan dua macam amal saleh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yakni kesalehan individual atau ritual dan kesalehan sosial.
Sejatinya, orang yang baik ibadah ritualnya akan baik pula amal sosialnya. Karena mu’amalah adalah buah dari ibadah. Bukan berarti tidak pernah melakukan kesalahan, tapi ia segera menyadari, memohon ampunan dan tidak mengulanginya (QS. Ali ‘Imran : 135).
Adapun orang yang beribadah sosial, peduli dengan anak yatim dan dhuafa, membantu korban bencana alam, menjalin hubungan sosial yang baik dengan masyarakat, namun tidak mendirikan shalat, puasa, zakat dan sedekah, merekalah orang yang tertipu. Bahkan, orang banyak menyebutnya orang baik atau dermawan, padahal tidak sedikit pun nilai perbuatannya di sisi Allah SWT.
Syeikh Mutawalli Sya’rawi, dalam Tafsir As-Sya’rawi, ketika menjelaskan makna surat Al-Baqarah ayat 25 menyebutkan, bahwa Allah SWT menginginkan hamba-Nya yang beriman untuk selalu beramal saleh (perintah yang selaras dengan manhaj/islam). Agar hati yang beriman dan suci, tidak ditopang dengan amal yang buruk atau hina. Maka dari itu Allah menyandingkan surga atau balasan yang baik dengan “alladzina aamanu” (orang-orang yang beriman) dan ‘amilus-sholihat (orang-orang yang beramal saleh).
Kerap kali kezaliman, cacian, hate speech, korupsi, maksiat merongrong pahala amal saleh tanpa kita sadari. Sepatutnya kita beristighfar kepada Allah SWT seraya memohon maaf kepada mereka yang kita rugikan dan hinakan. Jangan sampai di akhirat kelak, kita baru menyadari bahwa “utang” lebih banyak dari amal saleh. Karena itulah “gulung tikar” yang sesungguhnya. Na’udzubillahi min dzalik.
Wallahu’alam bishowab.