Selasa 21 Jul 2020 10:24 WIB

Jerat Pidana Pejabat Publik 'Pembantu' Djoko Tjandra

Mahfud ancam pejabat yang bantu Djoko Tjandra tak hanya dikenai sanksi adminstratif.

Suasana sidang Peninjauan Kembali (PK) atas kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali terhadap terpidana buron Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (20/7). Hakim memutuskan persidangan ditunda selama sepekan ke tanggal 27 Juli 2020 akibat terpidana tidak hadir dalam persidangan dengan alasan kondisi kesehatan yang menurun.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Suasana sidang Peninjauan Kembali (PK) atas kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali terhadap terpidana buron Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (20/7). Hakim memutuskan persidangan ditunda selama sepekan ke tanggal 27 Juli 2020 akibat terpidana tidak hadir dalam persidangan dengan alasan kondisi kesehatan yang menurun.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Arif Satrio Nugroho, Haura Hafizhah

Satu orang Lurah di DKI Jakarta sudah dinonaktifkan dari karena dugaan penyalahgunaan jabatan saat membantu buronan Djoko Tjandra membuat KTP-el. Tiga orang jenderal polisi yaitu Irjen Pol Napoleon Bonaparte, Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo juga dalam pemeriksaan di Mabes Polri.

Baca Juga

Deretan pejabat publik yang diduga membantu urusan Djoko Tjandra selama ini Tanah Air tidak berhenti di situ. Disebut-sebut ada sejumlah hakim Mahkamah Agung (MA) yang dilobi oleh pengacara Djoko Tjandra. Khusus para hakim, Jubir MA, Andi Samsan Nganro, sudah membantah kabar tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan pemerintah akan mengusut dan menindak sejumlah aparat yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra. Menurutnya, terhadap mereka tidak hanya akan diberikan sanksi adminstratif, tapi juga secara pidana.

"Para pejabat dan pegawai yang nyata-nyata dan nanti diketahui memberikan bantuan, ikut melakukan langkah kolutif dalam kasus Djoko Tjandra ini, banyak tindak pidana yang bisa dikenakan. Misal pasal 221, 263, dan sebagainya," jelas Mahfud dalam keterangannya, Selasa (21/7).

Di samping itu, Mahfud mengapresiasi langkah yang telah diambil oleh Polri dalam melakukan tindakan terhadap aparat yang terbukti terlibat. Dia berharap, tindakan tegas juga dilakukan di institusi lain jika tebukti ada yang melakukan pelanggaran terkait dengan kasus Djoko Tjandra.

“Kalau ada yang terlibat di situ, tindakan displin, penjatuhan sanksi disiplin, administratif segara diberlakukan lalu dilanjutkan ke pidananya, jangan berhenti di disiplin," katanya.

Menurut Mahfud, jika pelaku hanya diberikan sanksi disiplin, terkadang ketika pelaku dicopot dari jabatan, tiba-tiba dua tahun lagi muncul jadi pejabat. Padahal, kata dia, pelaku melakukan tindak pidana. Karena itu dia berharap Polri meneruskan pemberian sanksi hingga ke pidana.

Beberapa waktu lalu, Mahfud menuturkan, setelah berbicara dengan para ahli ia menilai semestinya pengejaran terhadap Joko Tjandra merupakan persoalan sepele bagi Polri dan Kejakgung. Menurutnya, seharusnya aparat penegak hukum dapat dengan mudah mengendus keberadaannya. Karena itu, kata dia, akan keterlaluan jika Polri maupun Kejakgung tak bisa melakukannya.

"Karena bagaimana pun malu negara ini kalau dipermainkan oleh Joko Tjandra. Kepolisian kita yang hebat masak tidak bisa tangkap, kejagung yang hebat seperti itu masak tidak bisa tangkap," ujar Mahfud.

Masih terkait Djoko Tjandra, rencananya hari ini (21/7) Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) berencana melaporkan Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD). MAKI akan melaporkan Aziz lantaran Aziz tak menandatangani permohonan rapat Komisi III DPR RI atas kasus Joko Tjandra.

"Betul (akan melaporkan)," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat dikonfirmasi Republika, Selasa pagi. Dalam agenda yang dibagikan Boyamin Aziz dilaporkan ke MKD karena dianggap melanggar kode etik.

"Berupa tidak mengizinkan Komisi III DPR untuk melakukan Rapat Kerja dengan Kepolisian, Kejagung dan Imigrasi terkait sengkarut buron Joko Soegiarto Tjandra," tulis Boyamin.

Rapat Kerja Komisi III sebenarnya direncanakan setelah menerima pengaduan MAKI terkait surat jalan Djoko Tjandra. Namun, surat izin rapat gabungan yang diajukan Komisi III DPR masih tertahan di meja Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Azis Syamsuddin.

Ketua Komisi III DPR, Herman Herry mengatakan, surat izin untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP) pengawasan terhadap mitra kerja itu telah dikirim ke pimpinan DPR sejak Rabu (15/7). "Tentunya kami menganggap kasus ini bersifat super urgent sehingga berdasarkan mekanisme Tatib DPR, kami harus meminta izin kepada pimpinan DPR," kata Herman, ketika dikonfirmasi wartawan, Jakarta, Jumat (17/7).

Sayangnya, kata Herman, hingga saat ini surat tersebut tidak ditandatangani oleh Azis Syamsuddin sebagai Wakil Ketua DPR bidang Korpolkam. Sementara, Ketua DPR Puan Maharani telah mengizinkan dan menyetujui rencana RDP yang rencananya digelar Selasa (21/7).

“Sebagai informasi, Ketua DPR telah mengizinkan dan menyetujui rencana RDP tersebut pada masa reses hari Selasa depan. Maka dari itu, Ketua DPR mendisposisi izin tersebut kepada Wakil Pimpinan DPR bidang Korpolkam,” kata Herman

Sementara Azis Syamsuddin membantah tudingan bahwa dirinya menolak menandatangani surat yang diberikan Komisi III terkait RDP dengan aparat penegak hukum seperti Polisi, Kejaksaan dan Kemenkumham. "Saya menjalankan tatib dan keputusan bamus (Badan Musyawarah)," kata Aziz melalui pesan singkatnya pada Republika, Sabtu (18/7).

Aziz mengatakan, hanya ingin menjalankan Tata Tertib DPR dan Putusan Bamus, yang melarang RDP Pengawasan oleh Komisi pada masa reses. Menurut Aziz, ketentuan ini tertuang dalam Pasal 1 angka 13 yang menerangkan bahwa Masa Reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang.

"Terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja" Kata Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan itu menambahkan melalui keterangannya.

Kemarin sidang peninjauan kembali (PK) Djoko Tjandra ditunda lagi di PN Jakarta Selatan. Alasannya, Djoko Tjandra kembali tidak hadir di persidangan.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Ridwan Ismawanta mengatakan ia tetap berprinsip pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 yang berisi pemeriksaan permohonan PK di PN wajib dihadiri terpidana.

"Kami tetap pada prinsip yaitu sesuai dengan SEMA nomor 1 tahun 2012 pemeriksaan permohonan PK di PN wajib dihadiri terpidana. Wajib hadir," katanya kepada wartawan di PN Jakarta Selatan, Senin (20/7).

Kemudian, ia mengaku heran terhadap keputusan hakim yang menunda kembali dan memberikan waktu kepada jaksa untuk menuliskan pendapat tentang persidangan ini. "Tanya ke hakimnya, saya juga heran," kata dia.

Ia menambahkan nantinya akan menulis pendapat tentang atas jalannya persidangan dan ketidakhadiran Djoko Tjandra. Lalu, juga permintaan Djoko Tjandra yang ingin sidangnya lewat telekonferensi.

"Ya kami diperintah untuk menulis pendapat tentang sidang ini. Perintah dari majelis hakim," kata dia.

Ketidakhadiran Djoko kemarin membuat majelis hakim kembali harus menunda sidang PK hingga 27 Juli 2020. Ketua Majelis Hakim Nazar Effriandi menyatakan menerima surat sakit dari Djoko Tjandra. Dalam surat itu, Djoko meminta persidangan dilakukan secara telekonferensi namun ditolak hakim.

"Iya saya sudah berikan kesempatan tiga kali untuk hadir. Suratnya juga isinya tidak memastikan bahwa dia hadir. Dia minta telekonferensi artinya dia tak akan hadir. Surat ini juga dibuat dari Kuala Lumpur, makanya tidak mungkin lagi dia akan hadir," kata Nazar, di PN Jakarta Selatan, Senin (20/7).

Pada sidang pekan depan, majelis hakim memberikan kesempatan terakhir kepada Djoko Tjandra untuk hadir di muka persidangan dan akan memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum (JPU) memberikan pendapatnya. Setelah itu, majelis hakim akan mengambil keputusan.

"Persidangan kami tunda sampai 27 juli 2020 pada pukul 10.00 WIB. Harus hadir tanpa dipanggil lagi. Nantinya, dalam agenda tersebut ada pendapat jaksa. Setelah itu, majelis yang akan memutuskan PK dalam kasus ini," kata Nazar.

Kuasa hukum Djoko Tjandra, Andi Putra Kusuma, mengatakan tidak tahu persis di mana lokasi Djoko Tjandra berada. Ia hanya menerima surat sakit Djoko Tjandra yang berasal dari Kuala Lumpur, Malaysia. Di dalam suratnya ia disebut masih sakit dan disarankan untuk istirahat. Sehingga ia tidak dapat hadir di persidangannya sendiri.

"Saya tidak tahu beliau ada di mana dan lokasinya di mana. Saya tidak pernah bertemu. Surat sakitnya dari Malaysia tertanggal 15 Juli 2020," katanya.

Kemudian, ia melanjutkan Djoko Tjandra minta persidangannya lewat daring yaitu telekonferensi karena kesehatannya kurang baik. Namun, majelis hakim menolaknya. "Pasti upaya PK kami akan jalan. Kami tidak tahu dia sakit apa. Kata dokter ia hanya disuruh istirahat," kata dia.

Ia menambahkan, majelis hakim memberikan kesempatan sekali lagi. Ia mengaku akan berusaha menghadirkan Djoko Tjandra. "Secara aktif klien wajib hadir dengan segala konsekuensinya, memang harus ditempuh perjuangan untuk jalan kebenaran," kata dia.

Ia menegaskan untuk sampai saat ini ia tidak berkomunikasi dengan Djoko Tjandra. Ia hanya menerima surat sakit Djoko Tjandra dan diajukan ke Majelis hakim. "Saya tidak terlibat komunikasi dengan Djoko Tjandra," kata dia.

photo
Djoko Tjandra - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement