REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri tekstil mendesak pemerintah agar berkenan memberikan insentif berupa keringanan tarif listrik. Listrik sejauh ini cukup dikeluhkan oleh pabrikan lantaran masih diterapkan biaya bulanan dengan rata-rata minimal pemakaian.
"Kita butuh insentif yang lebih instan. Contohnya, ada subsidi tarif listrik. Kalau bisa ada diskon pada jam malam semisal mulai pukul 22.00 hingga 06.00," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) kepada Republika.co.id, Selasa (21/7).
Ia mengatakan, saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), banyak pabrikan tidak beroperasi terutama pada April-Mei. Namun, pabrikan tetap diharuskan membayar listrik sesuai rata-rata pemakaian minimal.
Menurutnya, hal itu sangat memakan modal kerja industri yang selama ini sudah habis terpakai membayar bunga bank dan upah pekerja. Di satu sisi, perusahaan harus berupaya untuk mempertahankan karyawan agar tak terkena pemutusan hubungan kerja.
"Kontrisbusi listrik ke biaya produksi memang tidak bisa disamaratakan antar subsektor. Kalau di pemintalan, penenunan, dan polimerisasi itu besar. Tapi kalau di garmen listrik itu kecil," kata Jemmy.
Di satu sisi, tekstil juga membutuhkan bantuan permodalan salah satunya lewat keringanan bunga kredit. Ia mengatakan, sejauh ini bank sudah memberikan insentif penurunan bunga antara 0,5-1 persen. Namun itu dirasa kurang, ia menilai perlu ada relaksasi hingga 5-6 persen.
Akibat pandemi Covid-19 yang belum usai, ia mengatakan industri tekstil belum bisa memikirkan pertumbuhan saat ini. Perbaikan kemungkinan paling cepat terjadi pada tahun depan.
"Tahun ini bisa tidak minus juga sudah bagus. Apalagi ekspor tekstil juga terganggu karena permintaan global melemah," katanya.