REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Lokataru mengirimkan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera mengembangkan dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Sebab, dari data yang dihimpun selama ini menunjukkan bahwa Nurhadi diduga memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tidak berbanding lurus dengan penghasilan resminya.
"Sehingga, patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi," tegas peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Selasa (21/7).
Dalam penelusuran yang sudah dilakukan, setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi, diantaranya; tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah; empat lahan usaha kelapa sawit; delapan badan hukum, baik dalam bentuk PT maupun UD; dua belas mobil mewah; dua belas jam tangan mewah. Berdasarkan data tersebut, sambung Kurnia, KPK semestinya tidak hanya berhenti pada dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi saja, namun harus juga membuka kemungkinan untuk menjerat yang bersangkutan dengan pidana pencucian uang.
"Tak hanya itu, KPK diharapkan juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya," ujarnya.
Adapun, instrumen hukum yang dapat digunakan oleh lembaga anti rasuah yakni Pasal 5 UU TPPU (pelaku pasif) dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar. Kurnia melanjutkan, setidaknya akan ada beberapa keuntungan bagi KPK ketika menindak pelaku kejahatan dengan aturan pencucian uang.
"Pertama, penyelidikan dan penyidikan tidak akan diwarnai dengan resistensi dan intervensi pihak tertentu karena menggunakan metode follow the money," katanya.
Kedua, sejalan dengan konsep pemidanaan yang berorientasi pada pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi. Hal ini mengingat korupsi sebagai financial crime tentu pola pemidanaan tidak bisa hanya bergantung pada hukuman badan semata, namun mesti mengarah pada pemiskinan pelaku kejahatan.
Ketiga, memudahkan proses unjuk bukti bagi Jaksa Penuntut Umum. Sebab, Pasal 77 UU TPPU mengakomodir model pembalikan beban pembuktian. Sehingga Jaksa tidak sepenuhnya dibebani kewajiban pembuktian, melainkan berpindah pada terdakwa itu sendiri.