REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Prof Syihabuddin Qalyubi, guru besar Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kisah-kisah dalam Alquran umumnya ditampilkan dalam gaya dialog, sehingga diksi qāla, qālū, qālat, qulnā, yaqūlu dan yaqūlūn sering digunakan. Dialog dalam Alquran lebih dekat dengan diksi muhāwarah ( dalam bahasa Arab)", yang berasal dari kata hāwara , sinonim diksi tahaddasta.
Dalam bahasa Arab, ada juga diksi yang berdekatan makna dengan muhāwarah yaitu mujādalah, hampir seperti muhāwarah, hanya saja mujādalah berkonotasi adanya permusuhan. Selain itu, ada juga diksi munāqasyah.
Yang terakhir ini berarti pembicaraan diantara dua pihak yang tidak seimbang. Maka dengan demikian, dialog atau muhāwarah adalah pembicaraan antara dua pihak yang seimbang, dan semuanya dikembalikan ke konten dialog itu sendiri.
Dialog dalam ilmu komunikasi bisa dimasukkan ke ranah komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang biasanya tidak diatur secara formal. Minimal terdiri atas komunikator (pengirim), komunikan (penerima) dan message (pesan). Dalam dialog fungsi Komunikator dan komunikan bisa saling bergantian, demikian pula pesan yang di sampaikan.
Dialog dalam kisah Alquran dapat menggambarkan kepribadian pelakunya yang bisa diketahui melalui konsep dirinya. Hal ini bisa ditelusuri dengan menganalisis diksi dan struktur kalimat yang digunakannya. Untuk mengetahui gaya bahasa dialog dalam kisah Ibrahim, bisa dianalisis sesuai dengan tema-temanya. Pada kesempatan ini akan dibahas tema Monoteisme.
Semua dialog dalam kisah Ibrahim mengarah kepada monoteisme. Hanya saja dialog yang dimasukkan pada kelompok ini adalah dialog-dialog yang lebih fokus pada ajaran ketauhidan. Strutur kalimat dialog dalam tema monoteisme, digunakan kalimat yang ringkas dan langsung diarahkan kepada sasarannya, seperti QS al-Anbiyā [ 21]: 52-68:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ ٱلتَّمَاثِيلُ ٱلَّتِىٓ أَنتُمْ لَهَا عَٰكِفُونَ
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS al-Anbiya [21]: 52)
Pertanyaan Ibrahim yang bernada teguran ini langsung mengarah kepada inti permaslahan, lalu dijawab kaumnya dengan jawaban yang datar.
قَالُوا۟ وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا لَهَا عَٰبِدِينَ
“Kaumnya berkata kepadanya: kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.” (QS al-Anbiyă [21]: 53)
Mendengar feedback yang seakan-akan tanpa beban itu, Ibrahim mengeluarkan pernyataan yang cukup keras.
قَالَ لَقَدْ كُنتُمْ أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمْ فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
“Ibrahim berkata: sesungguhnya kamu dan bapak-bapak kamu dalam kesesatan yang benar-benar nyata.” (QS al-Anbiyā [21]: 54)
Pernyataan tersebut, sangat keras karena digunakan tiga alat penguatan pernyataan, yaitu huruf lām al-ibtidā, qad, dan kata ganti antum.
Dengan pernyataan ini, diharapkan mereka tidak bisa menjawab lagi. Rupanya kata-kata tersebut sangat tajam dan berpengaruh pada diri mereka, sehingga membuat mereka kebingungan dan bertanya-tanya.
قالوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ
“Mereka berkata: apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang yang bermain-main.” (QS al-Anbiyā [21]: 55)
Dialog di dalam surat Al-Anbiyă adalah dialog paling sengit . Ibrahim memprovokasi pernyataannya dengan menggunakan huruf qasam (sumpah), demikian pula umatnya membuat feedback yang tidak nyambung, sehingga berakhir di persidangan. Bahkan dalam persidangan ini, masih ada dialog yang sengit, yang berakhir dengan “hukuman bakar.”
Berbeda lagi dengan dialog di surat Maryam [19]: 42-47, meskipun ada kesamaan dalam tema yaitu monoteisme, di surat Maryam ini Ibrahim menyatakan pandangannya dengan santun:
-اِذۡ قَالَ لِاَبِيۡهِ يٰۤـاَبَتِ لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا يَسۡمَعُ وَلَا يُبۡصِرُ وَ لَا يُغۡنِىۡ عَنۡكَ شَيۡــًٔـا
-يٰۤـاَبَتِ اِنِّىۡ قَدۡ جَآءَنِىۡ مِنَ الۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَاۡتِكَ فَاتَّبِعۡنِىۡۤ اَهۡدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا
-يٰۤـاَبَتِ لَا تَعۡبُدِ الشَّيۡطٰنَ ؕ اِنَّ الشَّيۡطٰنَ كَانَ لِلرَّحۡمٰنِ عَصِيًّا
-يٰۤاَبَتِ اِنِّىۡۤ اَخَافُ اَنۡ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحۡمٰنِ فَتَكُوۡنَ لِلشَّيۡطٰنِ وَلِيًّا
Dialog Ibrahim dengan ayahnya ini dilakukkan dengan sangat hati-hati, dipilihnya diksi yang tidak menyinggung perasaan ayahnya, sekalipun berbeda keyakinan.
Ibrahim menggunakan kata yā abatī diulang sebanyak empat kali. Yā abatī (wahai ayahku) ungkapan yang sangat santun, lebih santun dari pada ungkapan yā abī. Ia dialog berdua dengan bapaknya berbeda dengan sewaktu ia dialog dengan ayah dan kaumnya. Di sini digunakan kalimat:
“Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?
Di tempat lain digunakan ungkapan:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?"
Untuk memberi kesan kepada ayahnya bahwa Ibrahim berbeda dari anak-anak lainnya sehingga ia berani menasehatinya. Ia berkata:
يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا
"Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS Maryam: 43)
Dalam dialog ini Ibrahim berhati-hati mencari diksi agar tidak menyinggung perasaannya ayahnya. Diungkapkan: Telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu. Tidak diungkapkan misalnya: 'aku pintar sedangkan engkau bodoh'.
Dalam ilmu komunikasi interpersonal sikap Ibrahim ini termasuk ke dalam “konsep diri” yaitu pandangan dan perasaan seseorang tentang dirinya sendiri. Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang akan bersikap sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya.
Lalu Ibrahim dalam dialognya masuk kepada message (pesan) intinya yaitu agar ayahnya mengikuti ajakannya.”
فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا
“ Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”(Maryam: 43)
يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا
”Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan yang Rahmān (Mahapengasih).”(QS Maryam: 44)
Dia menyebut nama ar-Rahmān (Mahapengasih) dalam tuturannya, ”Sesungguhnya setan itu durhaka kepada ar-Rahman.” Itu menunjukkan bahwa ketidaktaatan sebenarnya mencegah seseorang untuk menerima kasih sayang Tuhan. Sama seperti kepatuhan adalah alasan utama untuk turunnya rahmat Tuhan.