Rabu 22 Jul 2020 15:18 WIB

Klepon, Jajanan tak Islami dan Filosofi Jawa

Klepon dalam budaya Jawa bisa dimaknai sebagai petunjuk dalam laku hidup.

Klepon aslinya merupakan penganan tradisional dari Jawa yang berwarna hijau dari daun suji atau pandan. Dalam variannya, klepon ditemukan juga diolah dari beragam bahan misalnya ubi ungu.
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Klepon aslinya merupakan penganan tradisional dari Jawa yang berwarna hijau dari daun suji atau pandan. Dalam variannya, klepon ditemukan juga diolah dari beragam bahan misalnya ubi ungu.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Wilda Fizriyani, Wahyu Suryana

Klepon. Bulat, manis isinya, dan hijau warnanya. Lalu apa yang menjadikan klepon bukan makanan yang sesuai bagi seorang Muslim?

Baca Juga

Jawabannya, tentu tidak ada. Ketua Badan Halal PBNU Andi Nazmi meminta, umat Muslim tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak penting.

"Menurut saya itu gimmick saja dari pembuat status, tapi sungguh keterlaluan menggiring isu agama dalam konteks gimik," ujar Andi, Rabu (22/7).

Jika ditinjau lebih jauh, bahan baku utama pembuatan klepon sebenarnya tidak ada yang melanggar unsur syariah. Terkecuali, kalau ada oknum pembuat klepon yang berbuat nakal dengan memasukkan unsur haram. Perubahan bahan baku itu pun bisa saja berpengaruh pada rasa klepon.

"Setahu saya, berbahan tepung dan gula, ditambah parutan kelapa. Sepanjang yang pernah dimakan seperti itu," ujar Andi.

Muhammadiyah malah memilih diam agar isu ini menghilang dengan sendirinya tanpa harus menjadi besar. "Maaf, (Muhammadiyah) no comment," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti pada Republika.co.id.

Unggahan kontroversial terkait klepon sebagai makanan yang tidak Islami, muncul sejak kemarin di media sosial. Unggahan foto lengkap dengan tulisan, 'kue klepon tidak Islami'. Lalu disertai ajakan, 'Yuk tinggalkan jajanan yang tidak Islami, dengan cara membeli jajanan Islami, aneka Kurma tersedia di toko syariah kami'.

Pemerhati Kuliner dari Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang, Ary Budiyanto, mengatakan, klepon sempat menjadi tren kala selebritas Aurel Hermansyah memberikan kejutan kepada Atta Halilintar, tahun lalu. Pemberian klepon ditafsirkan sebagai harapan hubungan 'gurih' seperti parutan kelapa dan lengket layaknya ketan. "Penuh kejutan yang manis seperti gula di dalamnya," kata Ary, Rabu (22/7).

Lalu, kemarin muncul tudingan klepon sebagai makanan yang tidak Islami. Ary mengatakan, sebenarnya klepon diartikan sebagai cara orang tua Jawa mengajarkan anak dan cucunya agar tidak mengecap saat makan. "Karena bagi orang Jawa makan berbunyi itu tidak sopan," jelasnya.

Ary mengatakan, klepon juga banyak dimaknai sebagai petunjuk dalam laku hidup. Di dalam bahasa Jawa, klepon berarti "kanti lelaku pesti ono". Hal ini bermakna dengan, "laku prihatin maka akan ada jalan keluar."

Selain itu, klepon bermakna lambang kelembutan, ketepatan, kesabaran, keuletan serta ketelitian. Hal ini karena proses pembuatan klepon harus tepat dengan bahan dasar yang baik. "Artinya kalau mau lelaku tidak boleh asal, ada syarat dan ketentuannya. Butuh keuletan, kesabaran dan ketelitian dalam membuat klepon ini," ucap antropolog dari UB ini.

Ary tidak mempermasalahkan munculnya beragam tafsiran filosofi klepon di masyarakat. Namun, dia mengakui, aspek ini merupakan sebuah pesan yang baik untuk direnungkan. Lebih baik daripada memperparah nyinyiran anti-Jawa atau anti-Islam melalui meme di media sosial.

   

Selama ini klepon dianggap sebagai makanan umum di Pulau Jawa. Akan tetapi, Ary berpendapat, kuliner ini justru telah lama dikenal di Nusantara. "Entah sejak kapan makanan ini muncul," ucap Ary.

photo
Postingan kue klepon tidak Islam menghebohkan jagat maya, Selasa (21/7) - (Dok Istimewa)

Di Jawa, klepon terbagi atas dua bahan yakni ubi dan beras ketan. Selain itu, klepon juga lebih sering disebut onde-onde di Malaysia. Untuk klepon hijau dikenal dengan onde-onde gula Melaka sedangkan yang berbahan ubi disebut onde-onde buah Melaka.

Menurut Ary, orang Melayu Malaysia merujuk klepon ubi berasal dari Riau. Sementara untuk gula Melaka sendiri ditunjukkan pada gula merah. "Atau orang Jawa sebut sebagai gula Jawa," jelas pria yang tengah mengambil S3 sejarah di Universitas Gajah Mada (UGM) ini.

Sebutan ondeh-ondeh atau onde-onde merujuk pada pelafalan dari bahasa Belanda 'ronde'. Lafal ‘r’ agak tak terdengar seperti di wedang ronde dan kue onde-onde. Oleh sebab itu, keberadaan onde-onde di Malaka dinilai wajar karena Belanda juga pernah berkuasa dari 1641 sampai 1824.

Mengenai kuliner onde-onde, Ary berpendapat, makanan tersebut terbagi atas beberapa wujud. Dalam hal ini seperti klepon, wedang ronde dan onde-onde goreng dengan isian pasta kacang-kacangan dibalur dengan wijen. "Yang dua terakhir ini (wedang ronde dan onde-onde goreng) jelas khas China," katanya.

Ary menilai, bahan kuliner wedang ronde memiliki kemiripan dengan pembuatan klepon. Beras ketan diwarnai, diberi isi lalu dibuat bulat lalu dimasak di air panas hingga matang. Isinya biasanya berupa campuran remah kacang-kacangan yang diberi gula. Jika ronde dari wedang diangkat dan ditaburi parutan kelapa, maka bisa menjadi klepon.

"Apakah demikian asal usulnya (dari China)? Bisa jadi tidak demikian, karena orang Jawa juga mengenal jajanan dari tepung beras, beras ketan, ataupun ubi dan ketela yang digoreng dan diisi gula," ungkap Ari.

Di sisi lain, Ary tak menampik, kuliner China banyak memberikan pengaruh terhadap kuliner Nusantara. Hal ini terlihat pada makanan kuro, bakcang, lumpia, onde-onde goreng, weci dan sebagainya. Harus diakui juga banyak pembuat dan penjual jajanan pasar berasal dari peranakan.

Pakar kuliner UGM, Murdijati Gardjito, mengatakan, klepon merupakan penganan yang terbuat dari tepung ketan, beras, atau tapioka, lalu parutan ubi jalar atau ubi kayu, diisi gula kelapa dan setelah masak dicampur kelapa parut segar. "Klepon itu dalam khazanah makanan Indonesia termasuk kelompok makanan tradisional karena dia memenuhi persyaratan makanan tradisional," kata Murdijati kepada Republika.co.id

Syaratnya, pertama klepon dibuat dari bahan pangan yang diproduksi lokal, bukan impor. Kedua, bahan diolah dengan cara dan peralatan yang dikuasai masyarakat setempat, membuatnya mudah dikerjakan dan dikenal baik.

Ketiga, klepon memiliki cita rasa yang sangat digemari, dirindukan masyarakat yang biasa membuatnya, bahkan sering dirindukan ketika merantau. Keempat, menjadi indentitas dari kelompok masyarakat yang ada.

Posisinya sama dengan gudeg yang lekat dengan orang Yogyakarta, sambal lalap dengan orang Sunda, atau rendang dengan orang Minang. Meskipun, kini rendang sudah menjadi panganan khas Indonesia dan dikenal cukup luas secara global.

"Kelima, klepon sebagai makanan tradisional itu menjadi kekuatan besar untuk membangun kemandirian pangan," ujar Murdijati.

Ia menerangkan, bahan seperti tepung beras, tepung ketan, gula dan kelapa memang menjadi mayoritas bahan yang dipakai untuk membuat kudapan Indonesia. Lalu, rasa manis juga merupakan kesukaan bangsa Indonesia untuk kudapan.

Menurut Murdijati, kudapan di Indonesia yang rasanya manis jumlahnya paling banyak dibanding kudapan dengan rasa lain. Sebagai makanan, ia menjelaskan,  klepon Yogyakarta dan klepon Semarang memiliki ciri yang relatif sama.

"Terbuat dari tepung ketan, di dalamnya ada gula kelapa, masaknya direbus dalam air mendidih, dinikmati setelah diselimuti atau ditaburi parutan kepala segar," kata Murdijati.

Kemudian, ada klepon Wonosobo yang terbuat dari ubi jalar dan ubi-ubian lain yang dicampur tepung tapioka. Ada pula klepon Madura yang terbuat dari ubi kayu, dicampur tepung tapioka, tapi isian gula dan taburan kelapa yang sama.

Komposisinya hampir sama dengan klepon di Jawa Timur, DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di Sumatra, ada pula klepon dari tepung ketan yang di Sumatra Barat dinamakan onde, dan bahkan ada lagu-lagu berbahasa Sumatra tentang klepon.

Di Sulawesi Utara seperti Manado, klepon dinamakan onde-onde yang terbuat dari ubi jalar dan ubi-ubi lain. Sedangkan, di Bali dan NTB panganan yang sebagian besar berwarna hijau tersebut tetap menggunakan nama klepon.

"Jadi, klepon itu termasuk makanan tradisional yang meskipun dibuat dengan macam-macam bahan tapi semua berkarbohidrat, semua diproduksi di Indonesia, itu bukti makanan dekat dengan kehidupan, bahan dasar ada di daerah setempat," ujar Murdijati.

Menurut Murdijati, warna gula dan kelapa sudah jadi warna bendera pada zaman Kerajaan Majapahit, dan dipakai Patih Gajah Mada saat menyatukan Nusantara. Jadi, kudapan berbahan itu memang sudah lama menjadi panganan Indonesia.

Ia menilai, cita rasa klepon memenuhi syarat-syarat kudapan yang disukai, digemari, dan dirindukan masyarakat Indonesia. Terlebih, Murdijati melihat, batas bawah orang Indonesia dapat merasakan rasa manis memang sangat tinggi.

"Secara fisiologi manusia, memang bangsa Indonesia itu threshold gulanya termasuk tinggi, kalau threshold-nya tinggi berarti dia bisa merasakan manis kalau jumlahnya lebih besar, itu alasan bangsa Indonesia dekat rasa manis," kata Murdijati.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement