Kamis 23 Jul 2020 03:21 WIB

Belanja Teh dan Kopi Selama Lockdown Meningkat

Selama lockdown, masyarakat Inggris lebih sering menyeruput kopi dan teh.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Selama lockdown, masyarakat Inggris lebih sering menyeruput kopi dan teh (Foto: ilustrasi minum teh)
Foto: Flickr
Selama lockdown, masyarakat Inggris lebih sering menyeruput kopi dan teh (Foto: ilustrasi minum teh)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Masyarakat Inggris banyak menghabiskan waktu di masa lockdown untuk menikmati teh/kopi, menyantap biskuit, dan membaca buku. Informasi tersebut terungkap dalam survei yang digagas firma riset pasar Kantar selama tiga bulan terakhir.

Dikutip dari BBC, Rabu (22/7), Kantar mendapati tambahan belanja masyarakat sebesar 24 juta poundsterling (sekitar Rp 446 miliar) untuk teh dan kopi. Tercatat pula tambahan 19 juta poundsterling (Rp 353 miliar) untuk biskuit.

Baca Juga

Perusahaan melaporkan penjualan bahan makanan di Inggris mencapai rekor selama 12 pekan hingga 12 Juli 2020, sejumlah 31,6 miliar poundsterling (Rp 587 triliun). Pertumbuhan penjualan naik sebesar 16,9 persen, tertinggi sejak 1994.

Kepala wawasan ritel dan konsumen di Kantar, Fraser McKevitt, berpendapat bahwa itu semua menjadi biaya tambahan dari keharusan bekerja di rumah. Banyak individu maupun keluarga memiliki pengeluaran yang lebih dari biasanya.

Selain itu, ada pergeseran cara masyarakat berbelanja. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang memilih supermarket daring dan jasa antar. Penjualan bahan makanan daring menyumbang 13 persen untuk pasar, naik dari 7,4 persen awal Maret silam.

Banyak keluarga menganggapnya sebagai pilihan aman sekaligus praktis. "Meskipun pembatasan telah dilonggarkan, lebih dari satu dari lima rumah tangga masih melakukan pemesanan daring selama empat pekan terakhir," kata McKevitt.

Salah satu bentuk pelonggaran adalah dibukanya kembali pub, bar, dan restoran. Walau begitu, lebih dari setengah konsumen peserta survei mengaku masih merasa tidak nyaman mengunjungi tempat-tempat keramaian tersebut.

Dengan tren perilaku tersebut, Kantar tetap meyakini masyarakat perlahan bisa kembali melakoni kebiasaan sebelum lockdown. Sedikit kebebasan yang mereka dapatkan membuat masyarakat kembali percaya diri pergi ke supermarket dan toko fisik.

Bagaimanapun, toko kelontong adalah penyelamat bagi banyak orang di masa awal krisis, menyediakan pasokan penting tak jauh dari rumah. Pada puncak lockdown di bulan April, terdapat sekitar pengurangan 2,6 juta pembeli di toko.

Angka itu kini naik sebesar 10 persen sejak April. Pembatasan yang secara bertahap dipulihkan, membuat sebagian konsumen kembali menyambangi berbagai gerai ritel, namun McKevitt mengatakan jumlahnya masih sangat jauh dari tingkat normal.

Pertumbuhan penjualan supermarket tahun-ke-tahun melambat menjadi 14,6 persen pada Juli 2020. Angka itu turun 18,9 persen dari bulan sebelumnya. Pengunjung toko masih 15 persen lebih rendah sepanjang empat pekan belakangan.

Perubahan lain yang terjadi pada warga Inggris pada masa lockdown adalah bertambahnya kebiasaan membaca dan keinginan membeli buku. Penerbit Bloomsbury mencatat adanya lonjakan penjualan buku.

Deretan buku laris penerbit termasuk serial Harry Potter karya JK Rowling, serta sejumlah buku yang terkait dengan kampanye Black Lives Matter. Salah satunya, Why I'm No Longer Talking to White People About Race karya Reni Eddo-Lodge.

Karya itu berada di daftar teratas buku laris Bloomsbury beberapa pekan terakhir. Buku terbitan 2016 berjudul White Rage: The Unspoken Truth of Our Racial Divide yang ditulis oleh Carol Anderson.

Penjualan Bloomsbury naik hampir seperlima dibandingkan tahun lalu, dengan kenaikan pendapatan divisi konsumen sebanyak 28 persen. "Kinerja baik kami, khususnya Mei dan Juni, sangat tidak terduga," kata perwakilan perusahaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement