Rabu 22 Jul 2020 18:11 WIB

Simulasi Pencoblosan, Bawaslu Soroti Pemakaian Sarung Tangan

Pemilih butuh dua menit mencoblos karena harus menggunakan sarung tangan plastik.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Anggota Bawaslu RI M Afifuddin (kanan)
Foto: Republika/Prayogi
Anggota Bawaslu RI M Afifuddin (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memberi catatan atas pelaksanaan simulasi pemungutan suara Pilkada 2020 dengan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (22/7). Salah satunya, Bawaslu menyoroti, pemilih membutuhkan waktu dua menit untuk mencoblos karena terlebih dahulu harus menggunakan sarung tangan plastik.

"Kalau dua menit kali 500 pemilih (jumlah pemilih maksimal per TPS), itu 16 jam ya. Antrean juga agak panjang karena pemilih harus menggunakan sarung tangan dan seterusnya itu memengruhi proses percepatan pemilih menggunakan hak pilih," ujar Anggota Bawaslu RI M Afifuddin kepada wartawan, Rabu (22/7).

Baca Juga

Kemudian, penggunaan sarung tangan bagi penyintas disabilitas yang menggunakan kursi roda pun perlu dipertimbangkan. Sebab, menurut Afif, jika tidak dibantu pendampingan petugas, penyintas disabilitas itu akan kesulitan mengendarai kursi rodanya dan merusak sarung tangannya juga.

Berikutnya, pemakaian sarung tangan juga membuat pemilih yang buta tidak dapat meraba braille. Afif meminta, kendala baru dalam proses teknis pemungutan suara pilkada di tengah pandemi Covid-19 saat ini diperhatikan dengan detail oleh KPU.

Selain itu, Bawaslu juga telah menyampaikan masukan ke KPU terkait bilik suara. Menurut Afif, penempatan bilik suara saat simulasi terlalu sempit bagi akses pengguna kursi roda, termasuk posisi kotak suara yang menampung surat suara setelah dicoblos terlalu tinggi.

"Kursi roda tidak akan bisa menjangkau. Biasanya dulu kotak suara ditaruh di kurai agak pendek. Menurut saya ini hal yang bisa dipikirkan ulang atau dicatat," tutur Afif.

Ia juga menyoroti pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang lengkap di surat undangan pemungutan suara. Ia meminta KPU agar memikirkan perlindungan data pribadi para pemilih, seperti tidak mencantumkan beberapa angka dalam NIK.

Identitas pemilih saat mendaftar di TPS dapat diawasi dengan mencocokkan alamat dan data lainnya dengan KTP yang dibawa pemilih. Selain itu, Afif juga mengkhawatirkan penyelenggara pilkada di daerah kesulitan mencari tempat untuk TPS yang luas agar menghindari penumpukan antrean pemilih.

"Ketika ada tumpukan masyarakat, warga tidak terlalu berjubel termasuk mengatur kapan mereka bisa datang sehingga tidak lama menunggu. Nah ini butuh sosialisasi karena benar-benar belum pernah kita lakukan di saat pilkada atau pemilu sebelumnya," tutur Afif. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement