REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta sepertinya belum cukup membendung laju penambahan kasus harian Covid-19. Hal ini terlihat dari grafik yang dirilis pemerintah mengenai analisis perkembangan data antara sebelum dan setelah PSBB di sejumlah daerah.
Khusus di ibu kota, terlihat bahwa penambahan kasus harian di Jakarta justru secara konsisten terus menanjak di masa PSBB Transisi, dibanding selama penerapan PSBB tahap 1 hingga 3. Pada grafik terlihat bahwa sejak 8 Juli 2020, penambahan kasus harian di DKI Jakarta selalu di atas 200 orang setiap harinya. Padahal sebelumnya, penambahan kasus relatif masih lebih rendah dari angka tersebut.
Jika dibedah lebih rinci, maka tren kenaikan kasus harian di DKI Jakarta semakin terlihat. Sebelum penerapan PSBB, jumlah kasus baru harian relatif masih rendah dengan angka di bawah 100 kasus per hari. Hanya saja, angka kasus harian sempat melonjak tinggi nyaris 200 orang pada 9 April 2020.
Beranjak pada penerapan PSBB tahap I selama 10-24 April 2020, tren penambahan kasus harian makin terlihat. Pada grafik terlihat bahwa kasus baru setiap harinya bertambah nyaris menyentuh 100 orang. Kondisi ini cenderung bertahan sepanjang penerapan PSBB tahap II pada 25 April sampai 22 Mei dan PSBB tahap III pada 23 Mei sampai 4 Juni 2020.
Selama periode PSBB tahap II dan III, lonjakan kasus tertinggi terjadi pada 13 Mei 2020 dengan 134 orang positif Covid-10 pada hari itu. Setelah PSBB tahap III rampung, pemerintah provinsi pun melanjutkannya dengan PSBB transisi. Namun ternyata penambahan kasus harian justru semakin tinggi.
Pada grafik yang dirilis Gugus Tugas Nasional terlihat jelas bahwa semakin ke sini angka penambahan kasus kian tinggi di ibu kota. Bila sebelumnya rata-rata penambahan kasus harian masih berada di rentang 100-200, maka per 8 Juli angkanya konsisten di atas 200 orang setiap hari.
Bulan Juli angkanya konsisten di atas 300. Pada 8 Juli dengan 344 kasus, 11 Juli dengan 359 kasus, 12 Juli dengan 404 kasus, 16 Juli dengan 312 kasus, 18 Juli dengan 331 kasus, 19 Juli dengan 313 kasus, 20 Juli dengan 361 kasus, 21 Juli dengan 441 kasus, dan 22 Juli dengan 392 kasus baru.
DKI Jakarta sendiri sampai saat ini mencatatkan 17.621 kasus konfirmasi positif, 11.139 orang yang dinyatakan sembuh, dan 751 pasien yang meninggal dunia dengan status positif Covid-19. Sementara secara nasional, jumlah kasus konfirmasi positif sebanyak 91.751, dengan 50.255 pasien sembuh, dan 4.459 pasien meninggal dunia.
Dari segi tingkat risiko penularan, masih ada dua wilayah di DKI Jakarta yang masuk zona merah yakni Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Sementara zona oranye atau risiko sedang disematkan untuk Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur.
Bahkan Jakarta Pusat masuk dalam jajaran daerah dengan laju insidensi kasus positif tertinggi nasional per 19 Juli 2020, bersama dengan Kota Jayapura, Kota Semarang, Bangli, dan Kota Banjarbaru. Pemprov Jakarta pernah menjelaskan, semakin banyaknya jumlah kasus karena tes yang dilakukan terhadap warga kian meningkat.
Sementara itu tim pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah menjelaskan, laju insidensi merupakan jumlah kasus positif Covid-19 dibagi dengan jumlah penduduk di sebuah tempat. Dewi juga menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan laju insidensi ini.
Jika ada dua daerah yang memiliki kasus positif Covid-19 sama namun jumlah penduduknya berbeda, hal itu tidak menjadikan suatu daerah memiliki kondisi yang rentan penularan Covid-19. Ini dilihat dari banyaknya penduduk yang tinggal pada daerah tersebut.
"Misalnya di daerah A dan B jumlah kasusnya sama-sama 50 orang. Tapi ternyata di daerah A penduduknya 200 orang sedangkan B hanya 120 orang. Bisa dilihat bahwa angka laju insidensi lebih tinggi pada daerah yang jumlah penduduknya lebih sedikit," jelasnya, Rabu (22/7).
Dewi juga menambahkan bahwa laju insidensi menjadi salah satu indikator dalam menentukan zonasi daerah terdampak Covid-19.
"Laju Insidensi menjadi salah satu indikator dalam menentukan zonasi daerah terdampak Covid-19, yang sering kita paparkan sebagai peta zonasi risiko daerah," kata Dewi.
Indikator laju insidensi digunakan untuk melihat daerah mana saja yang penambahan kasusnya lebih cepat sehingga kebijakan dan cara penanganannya dapat disesuaikan dengan potensi penularan yang masih terjadi pada daerah terkait. Hal ini juga menjadi pemantauan yang dilakukan oleh Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dengan membandingkan laju insidensi pada pekan berikutnya dengan minggu sebelumnya.