REPUBLIKA.CO.ID, PALU— Perayaan Idul Adha merupakan manifestasi ketulusan berqurban sebagai refleksi perjuangan Nabi Ibrahim bersama putranya Nabi Ismail RA.
"Sekaligus memaknai nilai-nilai spiritual dari manasik haji," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Sulawesi Tengah, Prof KH Zainal Abidin, di Palu, Rabu (22/7), terkait Idul Adha 1441 Hijriyah atau 2020 Masehi.
Guru besar pemikiran Islam Modern IAIN Palu itu mengemukakan Idul Adha (Hari Raya Qurban) sejatinya merupakan kesinambungan "jalan kesalehan sosial spiritual" dari Idul Fitri.
"Jika Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan atas nafsu, maka Idul Adha merupakan manifestasi dari ketulusan berkorban," sebutnya.
Dia menyebutkan kedua hari raya tersebut bermuara pada nilai-nilai kepedulian, ketaqwaan dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, pentingnya silaturahim dan etos berbagi yang disimbolkan dengan zakat fitrah pada Idul fitri dan daging qurban pada Idul Adha.
Keduanya berangkat dari panggilan iman dan berbuah kemanusiaan universal, terutama aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia.
Haji, kata dia, tidak hanya sebagai kewajiban dan rukun kelima dalam Rukun Islam, melainkan sebagai ibadah sosial.
Kerinduan kepada Allah dan Nabi menjadi unsur utama dalam menjalankan ibadah ini, di sinilah mereka dikumpulkan dari berbagai ras, etnik, suku dan bangsa.
Oleh karena itu dia mengatakan bangsawan dan rakyat jelata memakai pakaian yang sama, dan tidak ada yang istimewa. Perbedaan warna kulit tidak ada artinya.
Mereka pada waktu dan tempat yang sama melakukan ibadah kepada Sesembahan yang sama, yaitu Allah SWT yang tidak ada sesembahan yang berhak di sembah selain Dia.
Zainal menjelaskan di antara makna sosial haji yang menghubungkan antara manusia dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial adalah penyadaran akan adanya kebhinekaan umat Islam.
Umat Islam saat ini telah tersebar di berbagai negara dan belahan dunia. Mulai dari negara paling barat hingga paling timur. Menurut dia, di antara umat Islam tersebut terdapat perbedaan atau keberagaman.
Mulai dari mazhab yang paling liberal sampai mazhab yang paling fundamental, aliran kiri maupun kanan, dan lain sebagainya. Karena berbagai perbedaan tersebut, umat Islam harus sadar bahwa kebhinekaan umat Islam itu tidak bisa dihindari, karena adanya perbedaan adat-budaya, pemahaman keislaman, tingkat intelektualitas, bahasa dan lain sebagainya. "Kebhinekaan umat Islam merupakan sebuah realitas yang niscaya ada," kata dia.