REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil upaya hukum banding atas vonis empat tahun pidana penjara Komisaris Utama PT Balipasific Pragama (BPP) Tubagus Chaeri Wardana. Hal itu dilakukan setelah JPU (Jaksa Penuntut Umum) melakukan analisa terhadap putusan majelis hakim.
"KPK hari ini menyatakan upaya hukum banding terhadap putusan atas nama terdakwa TCW," ujar Plt Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (22/7).
KPK menilai, putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap suami Airin Rachmi Diany belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. KPK juga tidak sependapat dengan pertimbangan yuridis majelis hakim terutama soal pertimbangan-pertimbangan tentang tidak terbuktinya dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Alasan banding selengkapnya tentu akan kami uraikan di dalam memori banding yang akan segera kami serahkan kepada Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," tutur Ali.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta memutuskan pidana 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Komisaris Utama PT Balipasific Pragama (BPP) Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Dalam putusan, Wawan dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 94,317 miliar.
"Menyatakan terdakwa Tubagus Chaeri Wardana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu alternatif kedua," ujar Hakim Ketua Ni Made Sudani saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/7).
Majelis Hakim menilai, Wawan terbukti bersama-sama dengan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah melakukan korupsi pengadaan alat kedokteran RS Rujukan Banten pada APBD TA 2012 dan APBD-Perubahan 2012 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 79,789 miliar. Tak hanya itu, korupsi juga dilakukan dalam pengadaan alkes kedokteran umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBD TA 2012 sebesar Rp 14,528 miliar.
Namun, dalam putusannya, Majelis Hakim menilai Wawan tak terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana tertera dalam dakwaan kumulatif kedua dan ketiga. Dalam dakwaan kedua dan ketiga Wawan disebut telah melakukan pencucian uang dengan akumulasi nilai mencapai Rp 1,9 miliar.
"Membebaskan terdakwa, oleh karena itu dalam dakwaan kumulatif kedua dan dakwaan kumulatif ketiga tersebut," kata Hakim Ni Made Sudani.
Masih dalam putusan, Majelis Hakim mewajibkan Wawan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 58.025.103.859. Bila tidak mampu membayar maka harta benda akan disita untuk membayar uang pengganti. Namun, bila masih belum mencukupi maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
Dalam pertimbangannya, terdapat beberapa hal pertimbangan. Untuk hal yang memberatkan Wawan dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan hal meringankan adalah Wawan bersikap sopan selama persidangan dan mempunyai tanggungan keluarga.
Wawan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.
Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan JPU yang menghukum Wawan dengan pidana enam tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider satu tahun kurungan. Setelah mendengarkan putusan, Wawan maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) memilih untuk pikir-pikir. Majelis Hakim lun memberikan waktu 7 hari untuk keduanya.