REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ratna Komalasari dan Murniati Mukhlisin, Sakinah Finance
Belakangan muncul tren yang dikampanyekan oleh pada ulama dan dai di Indonesia untuk menyegerakan pernikahan ketika sudah memasuki usia atau memenuhi tanda-tanda wajib menikah. Salah satu hal yang dihindari ketika menyegerakan pernikahan adalah menghindari perzinaan. Dalam berbagai kesempatan baik di majelis ilmu atau di sekolah Islam hukum dari perilaku zina dijelaskan sehingga solusi untuk mencegahnya yang ditawarkan adalah menikah.
Pada kesempatan kali ini, Sakinah Finance akan membahas isu yang sedikit sensitif karena menyangkut perilaku dan tren yang terjadi belakangan ini. Isu tersebut mengenai bagaimana status waris keturunan yang berasal bukan dari pernikahan yang sah atau disebut juga zina, karena beberapa waktu lalu media cukup ramai dengan berita-berita tentang public figure-public figure yang memiliki keturunan di luar pernikahan.
Penulis berusaha menelusuri topik-topik dalam Islam seperti apa yang erat kaitannya dengan perzinaan. Rupanya, temuan dari hal tersebut relatif terpusat pada konsekuensi dosa bagi para pelakunya dalam Islam.
Adapun hukuman bagi pelaku dari sudut mata Islam adalah seperti di ayat berikut: “Perempuan pezina dan laki-laki pezina, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali pukulan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur (24): 2).
Kali ini Sakinah Finance akan mencoba berbagi tentang sudut pandang lain dari sisi pewarisan. Dari sisi hukum waris bagi umat Islam di Indonesia, anak hasil zina minimal di definisikan oleh tiga hal. Pertama adalah Pasal 867 KUHPer tentang anak zina yang tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya namun mendapatkan nafkah sepenuhnya.
Kedua, adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 menguji Pasal 43 ayat (1) UPP yang menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan ayahnya yang terbukti secara teknologi dan hukum. Artinya berdasarkan referensi tersebut terdapat perbedaan membaca status hubungan antara anak dengan orang tuanya di KUHPer dan putusan mahkamah konstitusi yang menguji pasal 43 ayat (1) UPP, sehingga walaupun terlahir bukan dari pernikahan yang sah anak masih berhak mendapatkan warisan.
Namun, poin-poin hukum Islam dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya memutuskan bahwa bagi keturunan dari hasil perzinahan secara spesifik menjelaskan bahwa anak hasil zina terputus hubungan nasabnya, wali pernikahan nya dan nafkahnya dari ayah biologis yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi, anak hasil perzinahan memiliki hubungan nasab, waris dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.
Rasulullah SAW bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud). Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan.“ (HR. Al-Turmudzi).
Hikmah yang ingin coba dijelaskan pada poin yang dijelaskan oleh fatwa tersebut adalah memberikan gambaran yang lebih ke depan dari sisi muamalah. Zina dari sisi ibadah dan akidah tentu adalah hal yang sangat besar konsekuensi dosanya dalam Islam bahkan termasuk salah satu dosa besar. Bentuk edukasi yang diberikan kepada pemuda-pemuda Muslim ataupun secara umum di Indonesia saat ini seperti menyatakan this is sex and don’t have it.
Tapi, uraian mengenai konsekuensi perilaku tersebut perlu kembali dikampanyekan dalam berbagai sudut pandang. Sehingga, bisa menjadi universal dan menjadi ekosistem proteksi yang kuat di tengah masyarakat dari perilaku tersebut.
Satu poin lagi yang perlu diketahui adalah bentuk upaya dari pemerintah untuk melindungi keturunan dari hasil perzinaan yang ditambahkan dalam fatwa di atas tentang adanya kewajiban bagi ayah biologis untuk mencukupi nafkah bagi anak hasil perzinaan dan memberikan wasiat wajibah. Dalam ilmu waris sendiri wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Sehingga, jika merujuk pada ketentuan tersebut jumlah harta waris yang bisa diterima oleh anak zina tidak lebih dari sepertiga harta. Karena sifatnya wasiat, mungkin saja anak zina tersebut tidak medapatkan apapun karena ahli waris harus mendahulukan pembayaran hutang si mayit terlebih dulu sebelum penyelesaian wasiat.
Semoga ketentuan tersebut bisa menjadi bentuk edukasi dini sehingga akan terhindar dari perilaku tersebut dan tidak ada lagi kasus-kasus keturunan-keturunan yang berasal dari hasil perzinahan. Mari jauhkan diri dari zina karena sesungguhnya itu adalah perbuatan keji dan buruk (QS Al-Isra (17): 32). Wallahu a'lam bis-shawaab. Salam Sakinah!