REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengantisipasi krisis pangan pada masa mendatang sebagai imbas pandemi Covid-19, dengan meluncurkan program food estate. Program lumbung pangan nasional itu dikomandoi Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang dilaksanakan di Kabupaten Kapuas dan Pulau Pisang, Kalimantan Tengah.
Pakar pengembangan wilayah perdesaan Sugeng Budiraharsono, menyatakan, ide lumbung pangan sebenarnya bukan hal baru. Pada 1970-an, kata dia, PT Patra Tani telah melakukan hal tersebut di Sumatra Selatan. Tahun 1995 juga dilakukan proyek pengembangan lahan gambut satu juta hektare. Tahun 2010 juga direncanakan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) seluas 1,2 juta hektare.
"Namun ketiga proyek pengembangan food estate tersebut saat ini nyaris tak terdengar. Barangkali sebelum melaksanakan proyek food estate lagi, perlu memahami pembelajaran yang baik dan jelek dari ketiga proyek food estate tersebut," kata Sugeng di Jakarta, Kamis (23/7).
Sugeng pun menyarankan, ada beberapa hal sebagai penentu keberhasilan lumbung pangan, apalagi yang berkonsep modern. Antara lain, adalah hardware, orgware, brainware, dan software. Dia menjelaskan, hardware berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan teknologi budiaya, pengolahan, sampai rekayasa kesesuaian lahan dan iklim mikro.
Orgware berkaitan dengan rekayasa sosial buaya dan kelembagaan masyarakat yang bermitra dengan dunia usaha dengan dukungan dari lembaga pemerintah. Adapun software berkaitan dengan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, pendidikan dan pelatihan dan pengetahuan masyarakat.
Sedangkan brainware berkaitan dengan sumber daya manusia untuk menghasilkan kreativitas dan inovasi. "Kempat hal ini salin terkait dan akan meningkatkan daya saing dari produk-produk yang dihasilkan oleh food estate tersebut," kata Sugeng.
Pakar transmigrasi daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal), Arsyad Nurdin, menganalisis, pemetaan kabupaten/kota rentan pangan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, menunjukkan ada daerah rawan pangan kategori 1, 2, dan 3. Faktanya, sebagian besar daerah rawan pangan bukan berada di Kalteng. "Namun di Papua dan Papua Barat," kata Arsyad.
Jarak yang jauh dari kedua daerah tersebut, menurut dia, tentu akan berpengaruh terhadap rantai pasoknya. Faktor itu perlu diperhatikan pemerintah agar program itu bisa berjalan baik. "Apalagi barang-barang pertanian memiliki sifat mudah rusak, volumeous, dan bulky dan ini akan membawa konsekuensi terhadap tingginya biaya transportasi," kata Arsyad.
Pemerhati ekonomi lokal Marcelino Pandin, menganggap, pandemi Covid-19 berpengaruh terhadap produksi pangan dalam negeri. Di sisi lain, negara yang selama ini menjadi sumber impor pangan Indonesia, khususnya beras juga mengalamai hal yang sama. "Sehingga negara-negara tersebut tentunya akan mementingkan kebutuhan pangan dalam negeri mereka sendiri," kata Marcelino.
Di sisi lain, kata dia, impor pangan juga menguras devisa. Menurut Marcelino, dalam lima tahun terakhir, impor beras dan gandum saja merogoh devisa negara antara 1,5 miliar sampai 2,8 miliar dolar AS. Sehingga program lumbung pangan sangat tepat diterapkan di dalam negeri.
"Untuk pemenuhan pasokan pangan dalam rangka ketahanan pangan maka pemerintah merencanakan membangun food estate di Kalimantan Tengah yang terdiri atas lahan intensifikasi seluas 85.456 hektare (ha) dan lahan ekstensifikasi seluas 79.142 ha, termasuk dari lahan gambut," katanya.