REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Koalisi beranggotakan lebih dari 180 kelompok hak asasi manusia (HAM) mendesak merek dan pengecer mode terbesar di dunia berhenti menggunakan sumber daya dari Provinsi Xinjiang, China. Menurut koalisi tersebut masih banyak dari mereka terlibat dalam kerja paksa dan pelanggaran HAM terhadap jutaan warga Uighur.
Koalisi kelompok HAM itu mengatakan banyak merek pakaian terkemuka dunia terus mencari kapas dan benang yang diproduksi melalui sistem kerja paksa di kamp serta pabrik-pabrik di Xinjiang. Proses itu melibatkan sekitar 1,8 juta warga Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya.
“Hampir seluruh industri pakaian jadi (global) dinodai oleh tenaga kerja paksa Muslim Uighur dan Turk,” kata koalisi tersebut pada Kamis (23/7), dikutip laman the Guardian.
Koalisi tersebut telah membuat daftar merek yang menurutnya terus mengambil sumber daya atau bahkan terlibat dalam proses kerja paksa warga Uighur di Xinjiang. Mereka antara lain Gap, C&A, Adidas, Muji, Tommy Hilfiger, dan Calvin Klein.
Terdapat banyak lagi merek pakaian terkemuka yang juga terus mempertahankan kemitraan strategis menguntungkan dengan perusahaan-perusahaan China. “Merek global perlu bertanya pada diri sendiri seberapa nyaman mereka berkontribusi terhadap kebijakan genosida masyarakat Uighur. Perusahaan-perusahaan ini entah bagaimana berhasil menghindari pengawasan untuk keterlibatan dalam kebijakan itu,” ujar Direktur Eksekutif Uyghur Human Rights Project.
Direktur Eksekutif Worker Rights Consortium (WRC) Scott Nova mengatakan bukti untuk menunjukkan adanya kerja paksa di Xinjiang terkait rantai pasokan ke merek-merek mode ternama memang sulit diperoleh. “Pekerja paksa di wilayah Uighur menghadapi pembalasan ganas jika mereka mengatakan yang sebenarnya tentang keadaan mereka,” ujarnya.
Hal itu membuat proses pengujian melalui inspeksi ketenagakerjaan menjadi mustahil dan secara virtual menjamin bahwa setiap merek yang berasal dari wilayah Uighur menggunakan kerja paksa. “Merek dan pengecer menyadari ada masalah besar di wilayah ini dan bahwa rantai pasokan mereka terekspose pada risiko besar kerja paksa,” kata Nova.
Kedutaan besar China di London dan Washington enggan mengomentari surat dari koalisi kelompok HAM tersebut. Pada April lalu, Global Legal Action Network (GLAN), yakni perhimpunan pengacara HAM menyerahkan bukti kepada Her Majesty’s Revenue and Customs (HMRC) bahwa merek-merek seperti Muji, Uniqlo, H&M, dan IKEA menjual produk di Inggris yang mengandung kapas serta benang dari wilayah Xinjiang.
GLAN berpendapat Pemerintah Inggris harus menghentikan penjualan produk yang terkait dengan kerja paksa di seluruh wilayah. Sebab, hal itu melanggar beberapa undang-undang, termasuk 1897 Foreign Made Goods Act.
H&M dan IKEA kemudian mengatakan akan berhenti membeli kapas yang diproduksi dari Xinjiang. Dalam pernyataan terbaru, H&M mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan tidak langsung dengan satu produsen benang yang beroperasi di wilayah tersebut. Namun hubungan itu tengah ditinjau ulang.
Lebih dari 80 persen kapas China berasal dari barat laut Xinjiang. Meskipun telah banyak tudingan tentang ada kamp konsentrasi di sana, China konsisten membantahnya.
Pada Senin (20/7) lalu, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada 11 perusahaan Cina yang dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Uighur di Xinjiang. Seluruh perusahaan tersebut akan dibatasi untuk mengakses barang-barang asal Washington, termasuk komoditas dan teknologi.