REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan peringatan terkait penggunaan kortikosteroid ketika merawat pasien Covid-19. Peneliti juga mengatakan kortikosteroid hirup (ICS) dapat mengganggu respons imun tubuh dan membuat kemampuan pasien untuk melawan virus.
Peringatan ini mungkin membuat pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan asma merasa khawatir akan lebih mudah terkena Covid-19 bila menggunakan kortikosteroid. Padahal, banyak pasien PPOK dan asma yang membutuhkan steroid untuk mengelola penyakit mereka.
Untuk menemukan jawaban terkait penggunaan steroid pada pasien PPOK dan asma di masa pandemi, sekelompok peneliti dari Inggris melakukan penelitian. Hasilnya telah dipublikasikan dalam jurnal Respiratory Medicine.
Tim peneliti mengungkapkan bahwa kaitan antara peningkatan risiko infeksi saluran pernapasan dengan penggunaan ICS relatif lemah. Beberapa studi justru menunjukkan bahwa obat golongan kortikosteroid budesonide menghilang lebih cepat di saluran pernapasan dan tidak meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan dan pneumonia.
Selain itu, beberapa studi juga mengindikasikan bahwa beberapa jenis ICS dapat mencegah strain virus corona untuk mereplikasi diri pada inangnya.
"Oleh karena itu, kita tak mempunyai alasan untuk memercayai bahwa ada hubungan patologis langsung antara penggunaan ICS dan Covid-19," ungkap tim peneliti, seperti dilansir Health 24.
Penyakit PPOK dan asma itu dinilai menjadi faktor yang dapat meningkatkan risiko terkena Covid-19, meski tanpa obat kortikosteroid. Akan tetapi, sejauh ini pasien PPOK dan asma yang terkena Covid-19 masih di bawah perkiraan. Fakta ini dinilai mendukung teori bahwa ICS dapat menghambat replikasi virus penyebab Covid-19.
Berdasarkan temuan baru ini, pasien asma dan PPOK yang tidak terinfeksi Covid-19 disarankan untuk tetap menggunakan regimen obat yang biasa digunakan. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi mereka akibat asma atau PPOK.
"Manfaat untuk melanjutkan terapi ICS sesuai dengan pedoman masing-masing lebih besar daripada dugaan risiko infeksi saluran pernapasan," pungkas tim peneliti.
Akan tetapi, tim peneliti menilai perlu ada kehati-hatian saat menggunakan kortikosteroid dalam bentuk cairan nebulizer. Alasannya, virus SARS-CoV-2 diketahui dapat bertransmisi secara airborne di dalam lingkup rumah sakit.
Tim peneliti menilai penggunaan inhaler metered-dose dengan alat spacer dapat digunakan sebagai alternatif nebulizer. Alternatif lainnya adalah penggunaan cairan nebulizer hanya dilakukan di ruang isolasi yang aman.
Tim peneliti juga menilai penggunaan kortikosteroid oral (OCS) perlu dilakukan dengan hati-hati. Terapi OCS sebaiknya diberikan dalam dosis sekecil mungkin bagi sebagian kecil pasien dengan asma alergi. Secara umum, pasien juga perlu diperingatkan mengenai inisiatif penggunaan OCS.
"Pasien perlu diingatkan bahwa penggunaan OCS jangka pendek tak boleh dilakukan atas keinginan sendiri ketika mengalami gejala terkait Covid-19, seperti demam, batuk kering, atau mialgia," jelas tim peneliti.