REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Langkah kakinya menapaki Tanah Suci, Makkah. Tak lama berselang takdir mempertemukan Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Tai, dikenal sebagai Ibnu Arabi, dengan gadis salehah nan cantik Ain Syams Nizam.
Kesalehan dan kecantikan gadis ini kemudian membuahkan insipirasi bagi Ibnu Arabi dalam menggubah sejumlah syair. Hingga untaian-untaian syair pun terkumpul dalam sebuah kitab Turjuman al-Asywaq atau Terjemahan Rasa Cinta.
Perjalanan ke Tanah Suci merupakan bagian dari perjalanan Ibnu Arabi ke sejumlah wilayah. Lelaki kelahiran Murcia, Andalusia, Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H ini mengawali perjalanannya meninggalkan tanah kelahirannya pada umur 30 tahun.
Di Tanah Suci ia menjalani ibadah haji. Selain bertemu dengan Ain Syams Nizam, ia bertemu pula dengan jamaah haji asal Konya dan Malatya, sekarang daerah Anatolia, Asia Kecil. Pertemuan ini juga menjadi mula pengelanaan dia selanjutnya.
Perjalanan ke Konya bersama rombongan haji yang dipimpin Majiduddin Isqaq ini telah mengantarkannya pula ke Baghdad dan Mosul, Irak. Menjadi sebuah pengalaman dan perjalanan ruhani bagi Ibnu Arabi. Sebelum ke Tanah Suci, ia pernah pergi ke Fez, Maroko.
Di sana, Ibnu Arabi juga menulis sebuah kitab yang dikenal dengan Kitab Al-Isra atau Perjalanan Malam. Bahkan ia pernah melakukan sebuah perjalanan untuk menemani seorang ahli tasawuf, Abdul Aziz al Mahdawi ke Tunis.
Ibnu Arabi merupakan pria yang cerdas. Sejak usia delapan tahun, saat keluarganya tinggal di Sevila, Spanyol, ia telah mempelajari Alquran dan Fikih. Bahkan karena kecerdasannya yang luar biasa, dalam usia belasan ia pernah menjabat sebagai sekretaris beberapa gubernur Sevilla.
Di Sevilla, Ibnu Arabi bertemu dengan Ibnu Rusyd yang merupakan teman ayahnya. Ia pun berguru. Dan kelak, falsafah yang diajarkan oleh Ibnu Rusyd akan berpengaruh pada jalan pemikiran Ibnu Arabi. Meski ia tentu tak mengekor sama sekali.
Selain Ibnu Rusyd, sejumlah ulama juga pernah menjadi gurunya. Sebut saja Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf Al Lakhmy, Abu Al Qasim Al-Syarrath, dan Ahmad Abi Hamzah yang memberikan pengajaran mengenai Alquran dan qiraahnya.
Pun ada Ali bin Muhammad bin Al-Haq Al-Isybli, Ibnu Zarqun Al Anshari, dan Abdul Mun'im Al-Khazraji yang mengajarkan masalah-masalah fiqih dan hadis mazhab Imam Maliki dan Ibnu Hazm Al-Dzahiri. Ibnu Arabi menyerap ilmu mereka dengan pemekiran kritis dan menghindari taklid.
Ibnu Arabi bahkan memiliki paham pemikiran tersendiri hingga kemudian ia dikenal filsuf dan salah satu sufi termasyhur dalam sejarah Islam. Sebuah kitab monumental dilahirkan dari buah pemikirannya dengan menelaah pemikiran guru-guru sufinya, yaitu Al Futuhat Al Makkiyyah.
Salah satu pemikiran tasawufnya paling dikenal dan melahirkan sebuah kontroversi adalah Wahdatul Wujud. Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, menyatakan Wahdatul Wujud menyatakan tidak ada sesuatupun dalam wujud kecuali Tuhan.
Hanya ada satu wujud hakiki yaitu Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan hanyalah penampakan lahiriah dari-Nya. Keberadaan mahkluk tergantung pada keberadaan Tuhan atau berasal dari wujud Tuhan. Manusia sempurna, adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna.
Selain melahirkan kontroversi pandangan Ibnu Arabi juga menyebabkan ia dianggap kafir oleh ulama lainnya. Ensiklopedi Tokoh Islam, menyatakan Syeikh Al Islam Ibnu Taimiyah dan sejumlah pengikutnya yang menilai Ibnu Arabu kafir. Meski pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu Arabi yang sarat metafora dan membingungkan kaum awam. Perubahan pandangan Ibnu Taimiyah terjadi setelah ia bertemu dengan Taqiuddin Ibnu Atthaillah Al-Sakandari Al-Syadzili di sebuah masjid di Kairo, Mesir.
Taqiuddin memberikan penjelasan mengenai metafora-metafora yang digunakan Ibnu Arabi ketika menyampaikan pemikiran tasawufnya. Usai mendapatkan penjelasan itu, Ibnu Taimiyah bisa mengerti pandangan-pandangan Ibnu Arabi.