REPUBLIKA.CO.ID, Amri’ al-Qais bin Amar bn Amri’ al-Qais al-Lukhami, raja terkemuka yang diklaim sebagai peletak pertama persembahan terhadap berhala, pada masa Jahiliyah. Namun, pada pengujung hidupnya, Amri’ yang dikenal dengan kehidupan glamor dan gemerlap duniawi itu, beranjak sadar. Dia berhenti berfoya-foya. Di level inilah, Amri’ mulai menampakkan sikapnya yang bijak.
Dikisahkan dalam kitab Maqamat al-Ulama, karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali, suatu hari, Amri’ keluar dari kediamannya dan berjalan-jalan. Di tengah perjalanannya, dia bertemu dengan sosok nelayan yang membawa keranjang. Tampak si nelayan tadi mengumpulkan tulang belulang manusia dan merapikannya. Penasaran dengan apa yang dilakukan si nelayan itu, Amri’ pun bertanya.
“Wahai fulan, ceritakan apa yang terjadi denganmu? Saya lihat kondisi Anda buruk sekali dan sendirian dalam aktivitas seperti ini?”
Lalu si nelayan menjawab, “Perubahan kondisi dan lusuh rupaku karena sejatinya aku dalam sebuah perjalanan, bersama dua malaikat yang terus menyeruku menuju rumah yang sempit, lubang yang gulita, tempat yang jauh, lalu menyerahkanku menuju ujian sebenarnya berteman kebinasaan, di antara tumpukan jenazah. Seandainya saja aku tinggalkan tempat itu bersama kering, sempit, dan binatangnya, hingga tulangku terpisah, dan hewan-hewan tanah menggerogoti daging, tulang, dan nadiku, lalu aku kembali utuh dan tersusun lagi, tentu itu akan menjauhkanku dari bala, dan mendatangkan kesembuhan. Tetapi aku lebih memilih riuhnya Padang Mahsyar, dan mendatangi tempat pembalasan, dan tidak tahu kemanakah tempatku berpulang, surga atau neraka? Lalu kehidupan seperti apa lagi mereka yang menyadari akan begini akhir hidupnya?”
Setelah mendengar pernyataan yang menggetarkan hati itu, tiba-tiba si Amri’ langsung turun dari kudanya dan menghampiri si nelayan kemudian berkata, ”Perkataanmu mendadak membuat keruh hidupku yang selama ini indah, dan menikam jantung kalbulku, ulangi dan jelaskan apa maksud perkataanmu tadi.”
Si nelayan tadi pun menjelaskan maksud perkataan dan motifnya mengumpulkan tulang belulang. Dia menjelaskan bahwa, tulang belulang tersebut merupakan milik para raja yang telah terlenakan gemerlap dunia, mereka telah tertipu muslihat dunia dan terbuai untuk tetap waspada dari pertarungan itu, hingga akhirnya ajal menjemput, mereka dihinakan oleh harapan palsu dan tercerabut dari kenikmatan, lalu meninggalkan mereka dalam lapisan tanah. Tulang belulang ini akan kembali dihidupkan kemudian menerima pembalasan. Bisa jadi balasannya surga atau juga malah menuju neraka.
Penjelasan ini membuat Amri’ lemas seketika. Nasehat itu benar-benar mengena dan membuatnya tersadar. Dia memutuskan mengembara dalam kesederhanaan, melepaskan baju kemewahan, dan berkelana. Inilah akhir dari Amri’ hingga jejaknya tak lagi terlacak.