REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kehidupan sosial masyarakat yang dinamis terkadang mengabaikan ketentuan yang telah disyariat. Misalnya dalam keadaan tertentu kita sholat berjamaah dengan lawan jenis yang bukah mahram berdua.
Pertanyannya apakah sholat kita batal? Ustadz Fahmi Bahreisy, Lc, Msi
mengatakan, bahwa syariat sejak awal telah memberikan ketentuan-ketentuan khusus bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah.
"Baik berupa kewajiban ataupun kesunnahan," katanya saat diminta penjelasannya terkait pendapat bahwa wanita makmum sholat di belakang pria bukan mahram sholat keduanya batal, Jumat (24/7).
Ustadz Fahmi yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Pemuda Al Irsyad, mengatakan, bahwa ketentuan-ketentuan khusus bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah, baik berupa kewajiban ataupun kesunnahan, tak lain agar segala ibadah yang dilakukan dapat dijalankan dengan benar dan sempurna.
"Salah satu ketentuan pelaksanaan ibadah yang diatur oleh fiqih adalah tentang penempatan shaf sholat," katanya.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan:
خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها
“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal.” (HR Muslim)
Ustaz Firman menuturkan, hukum seorang wanita yang makmum kepada seorang laki-laki yang bukan mahram, di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mereka ada yang mengaggap hadis tentang Seorang Wanita yang Makmum Kepada Seorang Lelaki yang Bukan Mahram itu sahih, tentu (seharusnya) berpendapat bolehnya seorang wanita makmum kepada seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Sementara sebagian ulama yang lain yang menyatakan hadis tersebut daif berpendapat tidak membolehkannya.
Mereka yang tidak membolehkan antara lain seperti al-Sarakhsi dari mazhab Hanafi dan al-Nawawi dari mazhab Syafi’i. Selain itu mereka juga berargumen dengan keumuman hadis Nabi tentang larangan berkhalwat (menyepi) antara laki-laki dan wanita. Hadis tersebut berbunyi:
“….. janganlah seorang laki berduaan bersama seorang wanita yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yang ketiga adalah syetan, kecuali bila bersama mahramnya ….” (HR. Ahmad. Sanadnya memenuhi syarat Bukhari dan Muslim).
Pendapat ini juga yang dipegangi oleh Abu Malik ibn Kamal, seorang ulama fikih pengarang kitab Sahih Fiqh al-Sunnah. Namun menurutnya bila wanita yang makmum itu istri atau mahramnya, maka itu dibolehkan (dengan posisi wanita berada di belakang imam).
Selain itu, menurutnya, bila wanita yang bukan mahram itu lebih dari satu hukumnya juga boleh karena itu tidak dinamakan ber-khalwat (menyepi) dan tidak ada dalil-dalil yang melarang. Akan tetapi kebolehan tersebut menurut Abu Malik, jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah maka itu juga dilarang
Pendapat kelompok yang melarang ini lebih didasarkan kepada fitnah yang akan terjadi dengan “berkumpulnya” atau berdua-duannya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan mahram. Oleh sebab itu, jika wanita tetsebut bermakmum pada laki-laki yang bukan mahram, namun disertai dengan juga dengan adanya jamaah laki-laki lain, maka hal ini diperbolehkan dikarenakan aman dari khalwat.
Dalam kitab Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menyatakan, makruh hukumnya seorang laki-laki shalat dengan seorang perempuan yang asing (bukan mahramnya) berdasarkan hadis Nabi SAW, "Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan melainkan ketiganya adalah setan." Lalu, Imam Nawawi menegaskan, yang dimaksud dengan makruh di sini adalah makruh tahrim (yaitu perkara yang diharamkan dalam syariat yang berakibat dosa bagi yang melakukannya, tapi berdasarkan dalil yang bersifat zhanni), yaitu jika laki-laki itu menjadi berdua-duaan dengan wanita tersebut.
Imam Nawawi mengatakan, "Ulama mazhab Syafii berpendapat,, jika seorang laki-laki mengimami istri atau mahramnya dan berdua-duaan dengannya, hukumnya boleh karena ia dibolehkan untuk berdua-duaan dengannya di luar waktu sholat. Sedangkan, jika ia mengimami wanita asing dan berdua-duaan dengannya maka itu diharamkan bagi laki-laki dan wanita tersebut berdasarkan hadis-hadis Nabi SAW tersebut.
Maka, jika sholat berjamaah dengan laki-laki yang bukan mahram menjadikannya berdua-duaan dengannya, hukumnya adalah haram. Namun demikian, sholatnya tetap sah.
"Dan jika di mushala itu ada orang lain, meskipun ia tidak sholat maka hukumnya menjadi boleh karena penyebab dilarangnya sudah tidak ada, yaitu berdua-duaan," katanya.