REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Perayaan Kristen terakhir yang terjadi di Hagia Sophia yang agung adalah pada 28 Mei 1453. Tentara Ottoman saat itu berkemah di luar tembok, dan kapal-kapal Ottoman menunggu di pelabuhan. Kaisar Constantine XI berdoa meminta perlindungan tuhan bersama para pemimpin gereja-gereja Yunani dan Latin di dalam tempat suci kuno itu. Namun, perlindungan tidak datang.
Hal itu dituliskan Gabriel Said Reynolds, profesor studi Islam dan teologi di Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat, dalam artikelnya yang dimuat di laman Church Life Journal. Lebih lanjut, artikel tersebut mengisahkan, bahwa keesokan harinya, Jannissari, budak Kristen, berubah menjadi pejuang Muslim elite, memimpin serangan terhadap kota.
Menurut sebagian besar kisah, Konstantinus terjun ke pertempuran dan terbunuh, ketika pasukan Ottoman yang jauh lebih besar menyerbu kota. Populasi Kristen kecil yang tersisa di kota itu lari ketakutan menuju Hagia Sophia, gereja yang berdiri di pusat kehidupan kota sejak kaisar Justinian mengawasi pembangunannya pada 530-an.
Mereka yang tetap di Gereja dibawa pergi dalam perbudakan. Pembantaian dan penculikan orang-orang Kristen Konstantinopel terjadi selama tiga hari berikutnya sampai pemimpin Turki, Mehmed II, memerintahkan diakhirinya pembunuhan dan perbudakan.
Hagia Sophia, bersama dengan sejumlah gereja lain, dengan cepat berubah menjadi masjid. Mozaiknya dihancurkan atau diplester dan fitur Islam seperti mimbar ditambahkan.
Gabriel menjelaskan, Hagia Sophia bukan sembarang gereja. Itu menandakan kemuliaan Kekaisaran Bizantium, dan, yang lebih penting, kemuliaan Kristus (kebijaksanaan atau sophia Allah) kepada siapa itu didedikasikan. Selama berabad-abad Hagia Sophia adalah Gereja terbesar di dunia dan paling indah bagi banyak orang. Ketika Justinianus menyelesaikan bangunan itu, dia mengatakan, "Aku sudah mengalahkanmu, Solomon!" Ini adalah Kuil baru, pusat kerajaan Kristen.
Menurut Gabriel, ada banyak kebrutalan, penaklukan, dan perbudakan di Abad Pertengahan dan awal Renaissance. Penaklukan Konstantinopel hanyalah satu bab dari kisah berdarah ini. Namun demikian, itu adalah hal yang membuat kebanyakan pemimpin tidak sepenuhnya nyaman dengan hari ini.
Warisan penjajah Spanyol, atau Amerika yang menyebar ke barat dan menghancurkan peradaban pribumi, dikritik tajam dalam wacana publik dan dipertanyakan dalam buku teks sekolah umum. "Bagi Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki, tidak ada yang perlu dipertanyakan, apalagi dikritik, dalam peninggalan penaklukan Ottoman," jelas Gabriel.
Penulis 'Allah: God in The Qur'an' itu menjelaskan, kisah di balik konversi Hagia Sophia menjadi masjid tidak hanya tentang kemenangan Islam. Ini juga tentang politik Turki. Erdogan telah menderita beberapa kekalahan dalam pemilihan dalam beberapa tahun terakhir. Maka, mengubah Hagia Sophia menjadi masjid adalah keputusan yang sangat populer di Turki.
Langkah itu juga mencerminkan ambisi Erdogan untuk dilihat sebagai pemimpin umat Islam secara global. Orang mungkin ingat bahwa khalifah tinggal di Istanbul sampai Kemal Ataturk menghapuskan kantor pada Maret 1924. Menariknya adalah adanya sebuah pamflet yang didistribusikan kantor Erdogan segera setelah keputusan 10 Juli untuk mengubah Hagia Sophia menjadi masjid yang menceritakan dua cerita dalam dua versi berbeda.
Versi bahasa Inggris dimulai: "Pintu-pintu Hagia Sophia akan, seperti halnya dengan semua masjid kami, terbuka lebar untuk semua, apakah itu asing atau lokal, Muslim atau non-Muslim."
Versi Arab dimulai: "Kebangkitan Hagia Sophia adalah ramalan kembalinya kebebasan untuk Masjid Al-Aqsa di Yerusalem." Sedikit lebih jauh ke bawah berbunyi bahasa Inggris: "Untuk tujuan apa Hagia Sophia akan digunakan adalah masalah hak kedaulatan Turki." Teks berbahasa Arab yang sesuai berbunyi: "Kebangkitan Hagia Sophia adalah salam damai yang dikirim dari lubuk hati kita ke semua kota yang mewakili budaya kita, mulai dari Bukhara, sampai ke Andalusia."
Retorika semacam ini sangat berbeda dari Kemal Ataturk, yang mengubah Hagia Sophia menjadi sebuah museum pada 1934. Ataturk, yang telah memimpin perang melawan penjajah sekutu Turki setelah Perang Dunia I, berupaya membawa Turki menjauh dari masa Ottoman dan masa depan Turki yang baru, meski dia juga berperan dalam pembersihan orang-orang Kristen dari Izmir dan Pontus.
Namun, akhirnya, apakah keputusan untuk mengubah Hagia Sophia menjadi museum menjadi hambatan bagi hubungan antaragama? Paus Benediktus mengunjungi Hagia Sophia pada 2006. Paus Francis mengunjungi Hagia Sophia pada 2014.
Mengapa paus berikutnya tidak dapat mengunjungi Hagia Sophia dalam bentuk yang baru? Baik Benediktus dan Francis juga mengunjungi Masjid Biru di Istanbul. Mungkin paus berikutnya akan berdoa di Hagia Sophia bersama seorang rekan Muslim.
Francis sangat dekat dengan patriarki ekumenis Konstantinopel, Bartholomew. Bartholomew sendiri telah mengatakan tepat sebelum keputusan dalam sebuah khutbah bahwa status Hagia Sophia sebagai museum menjadikannya "tempat simbolis pertemuan, dialog, solidaritas, dan saling pengertian antara Kristen dan Islam."
Sebagai museum, museum ini memiliki potensi untuk mengubah warisan penaklukan menjadi warisan pembangunan jembatan. "Jadi saya bergabung dengan kesedihan Paus Francis. Namun, Hagia Sophia juga memiliki potensi sebagai masjid," kata Gabriel.
Sangat mengesankan untuk mengamati komitmen umat Islam yang bersujud di hadapan Tuhan dalam ibadah sholat sehari-hari mereka. Hagia Sophia akan kembali menjadi tempat sujud. Dengan indah, umat Islam akan bersujud di bawah tatapan Bunda Maria yang Terberkati, yang gambarnya tidak akan disingkirkan.
Ada yang menyarankan untuk menjadikan Hagia Sophia tempat ibadah ganda. Ini akan menjadi keputusan yang lebih berani, dan bijaksana. Tidak ada kekurangan masjid di Istanbul dan tidak ada alasan kuat mengapa bagian bangunan Hagia Sophia tidak bisa menjadi kapel Kristen. "Terus terang, ini bukan kemungkinan yang realistis selama Erdogan berkuasa," tutur Gabriel berpendapat.
Gereja kemudian harus melihat dengan kagum pada iman dan kesalehan umat Islam yang akan memenuhi Hagia Sophia untuk sholat yang dimulai pada Jumat, 24 Juli ini. Orang-orang yang beriman harus ingat bahwa ketika umat Islam mengumumkan ‘Allahu Akbar’ dalam sholat, maka itulah yang akan terdengar dari pengeras suara yang sekarang dipasang di sekitar Hagia Sophia. Mereka berbicara tentang Satu, Allah, pencipta manusia.
Sumber: https://churchlifejournal.nd.edu/articles/the-decision-to-turn-the-hagia-sophia-into-a-mosque/