REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah kelompok advokasi Muslim menyatakan kekhawatirannya Australia mengimpor konten sayap kanan dari Inggris, Amerika Serikat, dan Eropa melalui platform media sosial. Kelompok ini mengatakan telah mengidentifikasi perilaku meresahkan antara sebuah jaringan laman di Australia yang terhubung ke konten yang mengusung supremasi kulit putih (white supremacist) di luar negari. White supremacist merujuk kepada kelompok yang mengagungkan jika warga kulit putih adalah yang paling hebat.
Jaringan Advokasi Muslim Australia telah menggunakan pengajuan ke penyelidikan Senat terhadap campur tangan asing melalui media sosial. Jaringan advokasi Muslim ini didirikan setelah insiden pembantaian terhadap Muslim di Christchurch, Selandia Baru pada 2019.
Mereka memperingatkan meningkatnya ekstremisme akan merusak keamanan, hubungan sosial, dan demokrasi. Kelompok ini menunjukkan 12 partai kecil dengan kebijakan anti-Muslim yang diskriminatif telah mencalonkan diri dalam pemilihan federal terakhir, yang merupakan jumlah kelompok terbesar yang mereka catat.
"Kami tetap sangat khawatir tentang ekspor retorika ekstremis sayap kanan dari Inggris, Eropa dan AS ke Australia melalui latihan yang terkoordinasi pada platform media sosial seperti Facebook, dan dampaknya yang berpotensi menghancurkan demokrasi, hubungan sosial, dan keamanan nasional Australia," kata kelompok Muslim tersebut dalam pengajuannya, dilansir di The Guardian, Kamis (23/7).
ABC melaporkan, ekstremis sayap kanan kini mencakup sepertiga dari semua investigasi domestik yang dilakukan oleh Badan Intelijen Australia (ASIO). Sebelumnya, ASIO tengah menyelidiki kegiatan kelompok ekstrem sayap kanan yang menggunakan isu virus corona untuk merekrut anggota baru dan menyebarkan ide-ide berbahaya mereka. Konten sayap kanan itu disebarkan melalui internet di tengah pandemi ini.
Laporan program Background Briefing ABC pada Juni lalu sebagian didasarkan pada penilaian ancaman oleh ASIO yang dikeluarkan pada Mei untuk para profesional keamanan. Dokumen itu memperingatkan pembatasan berkenaan dengan Covid-19 telah digunakan oleh kelompok sayap kanan untuk mengatakan (membuat narasi) negara telah menindas, dan globalisasi dan demokrasi mengalami kecacatan serta kegagalan.
Direktur Jenderal Keamanan Australia, Mike Burgess, mengatakan, dalam sebuah pidato pada Februari lalu, ekstremisme tetap menjadi perhatian utama Asio. Namun, mereka juga fokus pada sel-sel sayap kanan ekstrem kecil yang kerap ditemukan di pinggiran kota di Australia. Mereka ditemukan memberi hormat kepada bendera-bendera Nazi, memeriksa senjata, berlatih tempur, dan membagikan ideologi kebencian mereka.
Awal tahun ini, jaringan advokasi Muslim bekerja sama dengan sebuah firma hukum Sydney, Birchgrove Legal, meminta Facebook agar merombak kebijakan moderasinya. Dalam pengajuannya, jaringan itu mengatakan penelitian yang tidak dipublikasikan dari Victoria University pada 2018 telah mengungkap adanya lebih dari 41 ribu unggahan kelompok sayap kanan di Facebook. Unggahan itu diidentifikasi sebagai wacana radikalisasi.
Berdasarkan penelitian itu, jaringan ini kemudian melakukan penyelidikan atas kapasitas Facebook dalam menegakkan standar kebijakannya terhadap ujaran kebencian. Jaringan tersebut mengatakan, ingin menguji apakah suara-suara ekstremis masih aktif setelah peristiwa Christchurch.
Faktanya, jaringan ini mengatakan penyelidikannya terhadap kelompok sayap kanan itu mampu mengungkap mereka masih sangat aktif dalam pekerjaan mereka menyebarkan konten-konten yang meresahkan di Australia. Dalam hal ini, laman jaringan tersebut terhubung ke ekstremisme sayap kanan dan konten supremasi kulit putih di luar negeri.