REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kapal Riset Baruna Jaya III Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan pemasangan teknologi baru kombinasi kabel optik dan tanpa kabel (Hybrid Cable Based Tsunameter/CBT). Teknologi ini untuk mendeteksi tsunami di segmen Megathrust Mentawai-Siberut, Sabtu (25/7).
Kerja sama pengembangan teknologi CBT Hibrid untuk mendeteksi tsunami itu dilakukan BPPT bersama Pittsburgh University USA, Woods Hole Oceanography Institute USA, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Andalas Sumatera Barat.
Jika pembangunan sistem peringatan dini tsunami ini berhasil makaakan menjadi salah satu metode yang akan digunakan dalam membangun teknologi pendeteksi dini gempa dan tsunami bukan hanya di Indonesia tetapi global.
Keberhasilan tersebut tentu juga akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi penguatan Indonesia Technology Early Warning System (Ina TEWS). “Ini instruksi Presiden untuk memajukan penggunaan teknologi early warning system tsunami,” ujar Hammam.
Penggabungan teknologi pendeteksian tsunami ini memanfaatkan lapisan termoklin di dalam laut sehingga bekerja seperti “base transceiver station” (BTS) di dasar laut yang mampu mengirimkan informasi dengan cepat dari jarak 20 hingga 30 kilometer (km) dari daratan. Sedangkan kable optik bawah lautnya hanya akan digunakan di “offshore” saja hingga sekitar tujuh kilometer (km) dari bibir pantai.
Dengan teknologi tersebut, Hammam berharap bisa mendeteksi tsunami lebih awal dengan memanfaatkan gelombang akustik sehjngga tidak perlu menggunakan kabel.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Yudi Antasena mengatakan CBT yang akan dipasang di Siberut hanya tujuh kilometer saja. Di ujung terluar mengarah Samudera Hindia akan berhubungan secara akustik tanpa kabel dengan sensor-sensor lain di dasar laut.
“Ke depan kalau ini sukses lebih mengefisiensikan anggaran. Karena prinsipnya mengurangi penggunaan buoy tsunami untuk early warning system yang sering menghadapi kendala non-teknis yakni fandalisme,” ujar dia.
Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Harkunti Pertiwi Rahayu mengatakan kombinasi dua sistem peringatan dini tsunami ini penting untuk memperkuat sistem peringatan dini hulu karena masih ada kekosongan besar di sana untuk dapat memonitoring laut. Dia sejak awal di 2005 terlibat dalam kerja sama pengembangan CBT Hibrid tersebut.
“Banyak masyarakat Mentawai yang bertanya soal ini. Mereka justru bisa menjadi pionir memiliki teknologi sistem peringatan dini tersebut, mereka perlu merawatnya sehingga bisa menyelamatkan masyarakat pesisir Sumatra dan Jawa jika bila tsunami terjadi,” ujar dia.